Kamis, 16 April 2009

Intuisi

Selalu ada bayangmu dalam setiap awal pancaran sinar matari pagi. Bukan hanya kali ini saja. Namun di setiap awal hari aku selalu mencari sosok bayanganmu itu. Ini sebuah rendezvous dari pencarianku, setelah siang itu aku pergi entah ke mana dan tak kembali.

Aku sempat berpikir, mungkin nanti kau akan suka dengan cerita ini. Aku selalu berharap kau bisa mendampingiku setelah semua cita ini menjadi nyata. Jika aku mengingat semua pesan darimu, aku selalu terpacu untuk bergerak. Karena aku tahu, ada Kau yang selalu mendukung setiap langkah yang kutempuh. Pernah Kau berujar;

“Ini cinta! Aku mencintaimu bukan karena Kau siapa! Ini cinta! Aku tekankan sekali lagi ini cinta! Aku tak mau mencampuradukan ideologi dengan cinta. Ketika semua ini berakhir, aku ingin mencintaimu sebagai individu, tentu tanpa pretensi apa pun jua. Biar cinta ini ada dan apa adanya”.

Ya, mungkin semua harus seperti ini adanya. Ketika ada dua pilihan tentang rasa, tentunya ini bukan sekedar pilihan satu cinta, dan lain pihak sebagai kewajiban tentang cita-cita sebuah idealisme. Pertarungan ini sempat mendera jiwaku, akan sebuah pilihan rasa tentang cinta. Tentu, semua ini tentang cinta dalam dua rasa yang berbeda.

Suasana semakin memanas. Gejolak kehidupan semakin menggelora, dan perubahan merupakan hal mendesak. Nuansa hari semakin redup, namun tak akan kubiarkan semua ini padam. Semua orang ramai bicara, dan banyak menuntut aksi nyata dalam sebuah perubahan. Lagi-lagi Kau semangatku, Cinta.

“Saatnya bergerak, sayang. Ingat, ikhtiar yang paling baik untuk saat ini adalah bergerak!” Sarannya saat itu, seperti yang pernah aku ingat.

“Aku belum siap jika harus meninggalkanmu saat ini.”

“Yang perlu kamu ingat, aku pernah ada dan selalu ada dalam hatimu. Jangan bodoh!”

Keyakinanku bertambah saat itu. Kau katakan bergerak adalah jawaban untuk semua cita itu. Aku mengukur kekuatan dalam diri. ‘Semua jangan dilakukan dengan bodoh’, itu katamu. Jujur aku tak kuasa, ketika aku genggam tanganmu. Mungkin ini genggaman terakhir, atau lebih tepatnya aku akan mati dalam medan laga. Kelak jika aku tiada, aku akan bersimphoni dalam dunia yang berbeda. Semoga ini tidak terjadi.

Aku dekap sekali lagi tubuhmu. Aku rasakan lebih dalam rasa cintamu. Tentu Kau tak melihat bagaimana air mata ini jatuh. Entah harus kusebut apa makna air mata yang jatuh ini. bahagiakah, sedihkah, atau apalah itu. Tentunya aku bahagia memilikimu. Lagi-lagi itu katamu, Sayang.

“Saatnya Kau pergi, Sayang.” Katamu sembari melepaskan pelukanku.

Selang waktu;

Arus perubahan sudah melanda. Sorak-sorai perubahan mulai menggema, seiring nuansa yang semakin tak menentu diterjang krisis kepercayaan. Semua bergerak menuju satu cita yang sama. Perubahan. Ya, semua menuntut sebuah perubahan. Dan itu mutlak adanya, untuk saat ini.

Aku mulai beraksi dalam gelanggang cita. Adanya aku bergelora, lalu aku putuskan untuk beretorika, sekedar menyengat gejolak massa yang semakin revolusioner dalam sebuah perjuangan untuk satu cita, Perubahan! Perubahan! Perubahan!...

Reformasi Saru

Aku tahu tentang kata tabu

Tapi ini, tak boleh berlalu

begitu saja.

Aku mengerti tentang sesuatu

Tapi mengapa,

aku harus membisu.

Ini zaman baru

Bung!

Dimana hal yang tabu

Menjadi sesuatu yang baru

Ya, itulah Reformasi

Katanya?

Massa kembali bergelora dengan suntikan semangat dari orasi yang kuberikan. Namun, aku tak merasakan suasana ini menjadi suatu perubahan. Orang ramai bicara, tapi ucap semu. Semua jadi gagu adanya. Teriak tanpa kata, bergerak tanpa makna. Aku merasa semua ini jadi kacau adanya. Belum sempat aku berpikir kenapa, aku rasakan dinginnya rasa dalam tubuh ini. Entah mengapa juga, aku terlentang di tengah ribuan massa yang kacau dalam suasana yang sama sekali tidak aku mengerti.

“agghhhhhh...!” aku sempat berteriak karena ini.

Aku melihat diriku terjatuh dalam keramaian massa. Dada kiriku banyak mengeluarkan darah segar. Aku tersungkur di sudut jalan itu. Aku terus pandangi gambaran tubuhku yang tergolek tak berdaya tersebut. Sampai di sini aku belum ingat dirimu, Cinta.

Akhirnya;

Aku sadari diri ini telah tiada. Aku tidak menangisi kepergian roh dalam jasadku ini. selama cinta masih ada, perjuangan tak boleh padam dalam perjalanan waktu. Namun, aku masih mencari keberadaan mu, setelah siang ini aku pergi entah kemana.

Selang rasa;

Aku tulis semua rasa ini dengan cinta. Dengan pena yang kau beri saat itu. Aku tulis semua penyesalan ini, Cinta. Ya, aku masih berjelaga mencarimu. Untuk bertanya satu hal, apakah Kau selalu mengingatku?

Namun, aku temukan dirimu di saat jasad telah terkubur dengan iringan tangis haru, dan ricik bunga kamboja yang mengiringi pemakaman jasadku. Aku sempatkan bertanya padamu;

“Mengapa kau tertawa saat aku tiada?”

David Setiadi,