Jumat, 30 Desember 2011

Peran Bahasa dalam Sebuah Peperangan: Kaitan Lintas Jaman dalam Penggunaan huruf Braille dan Navajo code


















Sebuah peperangan selalu memunculkan cerita yang menarik untuk dibahas dalam sebuah wacana tentang sejarah terjadinya dan penemuan-penemuan muktahir yang menyertainya. Selama ini kita lebih dikenalkan kepada kemajuan teknologi persenjataan dalam setiap perang yang terjadi. Lalu sebagai contoh kita dikenalkan dengan jenis senjata mulai dari AK-47, Revolver, Teknologi Bom Atom, dan lainnya.

Berbagai penemuan teknologi tersebut merupakan bagian dari perang yang terjadi disudut yang lain—selain untuk mendominasi dunia—sebagai perang para ilmuan dari setiap negara yang saling berlawanan. Seperti pada penciptaan teknologi bom atom, Jerman memiliki tekniknya dengan sumber daya manusia yang menciptakan teknologi tersebut, namun celakanya sumber daya inti (uranium) tidak dimilikinya. Sementara Amerika memiliki sumber daya alam berkaitan dengan uranium tersebut, namun teknologinya (SDM) belum mencapai taraf seperti yang Jerman miliki. Perang terjadi dalam berbagai bidang, dengan memaksimalkan segala potensi yang ada untuk saling mengalahkan satu sama lainnya.

Namun, di sisi yang lain peran bahasa, yang digunakan oleh peretas kode perintah dalam sebuah peperangan luput dari perhatian kita. Dalam konteks seperti ini saya berusaha mengungkapkan perihal tersebut yang berpusat pada kepentingan pragmatis huruf Braille oleh tentara Prancis saat perang, dan penggunaan Bahasa suku Navajo yang digunakan tentara Amerika ketika perang dunia II.

Alasan yang muncul dari pemilihan dua peristiwa yang terpaut jauh waktu terjadinya itu adalah pada perkembangan teknologi yang melatarbelakanginya, terutama dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa tulis dan lisan. Huruf Braille dengan media teks tulis tentunya mempertimbangkan bahan dan jenis huruf dalam setiap wacana yang tertuang dalam teks tersebut. Sandi Navajo sebagai sandi perang lebih menarik lagi, karena Sandi tersebut ada dalam bahasa lisan yang merupakan bahasa suku Indian. Menariknya penggunaan bahasa Navajo sebagai sandi rahasia merupakan cara muktahir—pada saat perang dunia II—yang dilakukan oleh tentara Amerika dengan memanfaat suku Indian.

Rentang waktu yang jauh tersebut membuat penggunaan huruf Braille tercatat sebagai bagian dari sejarah sandi perang yang pertama kali digunakan. Amerika dengan segala pengembangan teknologi yang dilakukannya tidak mampu bertahan lama dengan segala keunggulannya, cara konvensional yang akhirnya dilakukan adalah dengan menggunakan bahasa suku Indian Navajo tersebut. Tampaknya Amerika belajar dari penggunaan praktis huruf Braille yang jauh hari digunakan tentara Prancis abad 19.

Huruf Braille adalah sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh orang buta. Sistem ini diciptakan oleh seorang Perancis yang bernama Louis Braille yang buta disebabkan kebutaan waktu kecil. Ketika berusia 15 tahun, Braille membuat suatu tulisan tentara untuk memudahkan tentara untuk membaca ketika gelap. Tulisan ini dinamakan huruf Braille. Namun ketika itu Braille tidak mempunyai huruf W.

Munculnya inspirasi untuk menciptakan huruf-huruf yang dapat dibaca oleh orang buta berawal dari seorang bekas perwira artileri Napoleon, Kapten Charles Barbier. Barbier menggunakan sandi berupa garis-garis dan titik-titik timbul untuk memberikan pesan ataupun perintah kepada serdadunya dalam kondisi gelap malam. Pesan tersebut dibaca dengan cara meraba rangkaian kombinasi garis dan titik yang tersusun menjadi sebuah kalimat. Sistem demikian kemudian dikenal dengan sebutan night writing atau tulisan malam.

Demi menyesuaikan kebutuhan para tunanetra, Louis Braille mengadakan uji coba garis dan titik timbul Barbier kepada beberapa kawan tunanetra. Pada kenyataannya, jari-jari tangan mereka lebih peka terhadap titik dibandingkan garis sehingga pada akhirnya huruf-huruf Braille hanya menggunakan kombinasi antara titik dan ruang kosong atau spasi. Sistem tulisan Braille pertama kali digunakan di L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles, Paris, dalam rangka mengajar siswa-siswa tunanetra.

Kontroversi mengenai kegunaan huruf Braille di Perancis sempat muncul hingga berujung pada pemecatan Dr. Pignier sebagai kepala lembaga dan larangan penggunaan tulisan Braille di tempat Louis mengajar. Karena sistem baca dan penulisan yang tidak lazim, sulit untuk meyakinkan masyarakat mengenai kegunaan dari huruf Braille bagi kaum tunanetra. Salah satu penentang tulisan Braille adalah Dr. Dufau, asisten direktur L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles. Dufau kemudian diangkat menjadi kepala lembaga yang baru. Untuk memperkuat gerakan anti-Braille, semua buku dan transkrip yang ditulis dalam huruf Braille dibakar dan disita. Namun dikarenakan perkembangan murid-murid tunanetra yang begitu cepat sebagai bukti dari kegunaan huruf Braille, menjelang tahun 1847 sistem tulisan tersebut diperbolehkan kembali.

Pada tahun 1851 tulisan Braille diajukan pada pemerintah negara Perancis agar diakui secara sah oleh pemerintah. Sejak saat itu penggunaan huruf Braille mulai berkembang luas hingga mencapai negara-negara lain. Pada akhir abad ke-19 sistem tulisan ini diakui secara universal dan diberi nama ‘tulisan Braille’. Di tahun 1956, Dewan Dunia untuk Kesejahteraan Tunanetra (The World Council for the Welfare of the Blind) menjadikan bekas rumah Louis Braille sebagai museum. Kediaman tersebut terletak di Coupvray, 40 km sebelah timur Paris.

Sistem tulisan Braille mencapai taraf kesempurnaan di tahun 1834. Huruf-huruf Braille menggunakan kerangka penulisan seperti kartu domino. Satuan dasar dari sistem tulisan ini disebut sel Braille, di mana tiap sel terdiri dari enam titik timbul; tiga baris dengan dua titik. Keenam titik tersebut dapat disusun sedemikian rupa hingga menciptakan 64 macam kombinasi. Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan dan dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol matematika dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang umum digunakan adalah dengan tinggi sepanjang 0.5 mm, serta spasi horizontal dan vertikal antar titik dalam sel sebesar 2.5 mm.

Berdasarkan perkembangan penggunaan huruf Braille di atas tentunya menjadi suatu hal yang positif, dari awal kegunaannya sebagai sandi perang berubah menjadi alat bantu baca bagi penyandang cacat mata. Kapten Charles Barbier, pada awalnya mungkin tidak menyangka bahwa penemuannya akan berdampak positif bagi kepentingan manusia setelah sebelumnya dijadikan alat penunjang perang untuk membunuh manusia lainnya.

Jika penggunaan huruf Braille lebih tepat dikatakan sebagai bagian positif dari sebagian penunjang perang, lain halnya dengan penggunaan bahasa Navajo yang digunakan oleh tentara Amerika dalam perang Asia-Pasific melawan Jepang. Amerika memanfaatkan suku Indian sebagai bagian dari usahanya untuk menghegemoni dunia melalui penggunaan bahasa navajo sebagai sandi perang.

Ide awal penggunaan bahasa Navajo ini berasal dari Philip Johnston, seorang peneliti bahasa Navajo yang telah melakukan penelitian terhadap bahasa suku Indian sejak lama. Gagasan penggunaan bahasa ini berawal dari pertemuannya dengan seorang veteran tentara Amerika pada perang dunia pertama. Bahwa penggunaan bahasa Inggris (American) dalam peretas sandi perang sudah dapat terpecahkan oleh musuh. Oleh karena itu harus ada cara lain untuk menjaga kerahasiaan sandi perintah tersebut.

Johnston sebagai seorang doktor ilmu bahasa merupakan lulusan Universitas Sorbone, Prancis. Dengan keahliannya dibidang bahasa bantu, ia meneliti bahasa-bahasa suku Indian di kawasan Amerika Utara. Termasuk dalam hal ini ia fokus meneliti bahasa suku Navajo, yang menurutnya memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan dialek bahasa suku Indian lainnya. Bahasa Navajo diteliti karena menurut Johnston, bahasa Navajo merupakan bahasa yang memiliki kompleksitas yang ekstrem dari segi struktur kalimat (sintaksis) dan pengaruh bahasa tonal yang memiliki kerumitan tersendiri. Ia banyak terpacu dengan sejarah terciptanya bahasa/ Huruf Braille yang dipelajarinya ketika kuliah dulu di Sorbone, Prancis.

Bahasa Navajo atau bahasa Navaho (Diné bizaad) adalah sebuah bahasa pribumi di Amerika bagian utara dan tepatnya di sebelah barat daya Amerika Serikat. Bahasa ini terutama dipertuturkan oleh suku bangsa Navajo dan jumlah penutur bahasa ini kurang lebih adalah 175.000 jiwa. Bahasa Navajo termasuk rumpun bahasa Na-Dene. bahasa Navajo adalah bahasa yang dipakai sebagai sandi yang tak terpecahkan di perang dunia kedua

Penggunaan bahasa Navajo ini mulai dikenalkan dalam dunia militer ketika Johnston pada tahun 1942 bertemu Major General Clayton B. Vogel, komandan umum korps marinir untuk kawasan pacific. Perang di kawasan Asia Pasific merupakan perang yang sangat berat bagi Amerika terutama dalam kaitannya untuk membendung dominasi Jepang. Amerika setelah menundukka Iwo Jima mengalami kesulitan untuk bergerak melumpuhkan Jepang ke kawasan yang lebih sentral. Oleh karena itu, banyak upaya dilakukan tentunya penggunaan Navajo code talker ini bagian dari upaya tersebut.

Johnston mengkondisikan bahasa Navajo tersebut dengan istilah sandi militer, hingga akhirnya bahasa tersebut dapat diterapkan dengan kebutuhan sandi pada situasi peperangan. Sebagai bagian jangka pangjang, kerjasama Johnston dengan Vogel tidak berhenti sampai pematangan media bahasa Navajo dalam teknis sandi perang. Lebih lanjut Johnston dan Vogel merancang untuk melatih suku Indian Navajo untuk kepentingan keberhasilan Navajo code tersebut. Hal tersebut dilakukan oleh divisi 4 marinir Amerika yang merekrut 200 orang suku Navajo untuk dijadikan tentara. Dengan tugas khusus sebagai peretas kode Navajo tersebut.

Misi divisi Navajo untuk sebagian besar mencapai puncak keberhasilan ketika difungsikan pada perang Asia Pasific melawan Jepang. Sandi Navajo menjadi sandi rahasia yang sulit diretas oleh pihak Jepang sebagai lawan. Dengan sadar akhirnya, Jepang serta merta membidik para Navajo Army tersebut sebagai target utama pengendalian perang. Setidaknya keberhasilan Navajo Code tersebut merupakan salah satu bagian cerita—sukses—sebuah teknologi perang. Namun, secara sederhana lalu kita mulai berpikir bahwa teknologi tidak menjamin keberlangsungan (baca: keberhasilan) sebuah misi perang. Sejarah telah membuktikan—pemanfaatan—cara konvensional dapat menjadi bagian dari solusi (walaupun dalam konteks perang tetap salah).

Konon menjelang meninggalnya, Philip Johnston menyempatkan diri untuk kembali ke Sorbone tempat ia dahulu menempa ilmu. Setelah itu diceritakan ia meninggal, dengan meninggalkan cerita tentang ketakutannya akan kesalahan yang ia lakukan dengan memanfaatkan suku Indian. Salah satu bagian ini ada yang menganggap kematiannya misterius karena ada nuansa mistis yang melatarbelakanginya.

Louis Braille dan Kapten Charles Barbier, mungkin bisa tertawa melihat dampak positif dari penemuannya. Bagi Johnston?

Kamis, 08 Desember 2011

Mungkin Nita..


Mungkin ini cinta,
ketika aku tak bisa lagi berpaling darimu. dan tampaknya aku mulai tahu kemana aku berlabuh untuk pulang (ke hatimu).
Mungkin ini jodoh,
ketika aku mulai berpikir untuk menikahimu. dan kamu tahu kenapa?
"Rasanya cuma kamu yang ada di hatiku".
"Gombal!" katamu.
"Menikah, yuk?"
"Tentu..."
"Terima Kasih, Nit."

Minggu, 20 November 2011

Air


Kali ini, aku ingin berbicara tentang air. Mungkin ada pertanyaan, "Kenapa harus air?". Sederhananya, "Karena saat aku tulis, hujan sedang mendera".
Air yang turun dari langit biasanya kita sebut air hujan. Tapi jika air tersebut berasal dari langit-langit yang ada di rumah, biasa kita sebut (air) bocor. Tubuh kita (katanya) hampir dari separohnya berisi cairan--maka dari itu salah satu iklan minuman menggunakannya--, jika tubuh tersebut kekurangan cairan maka terjadilah yang dinamakan 'dehidrasi'. Celakanya, bagaimana jika cairan tersebut harus keluar dari beberapa lubang yang ada pada tubuh kita?
Cairan yang keluar dari telinga, dengan efek bau lendir hijau yang ada jadinya 'conge'. Cairan yang keluar dari hidung--yang kira-kira sama bau dan berlendir--, sering kita menyebutnya 'ingus'. Nah, jijik kan?
Lalu, jika cairan yang keluar dari penis yang berlendir bening, kita sering menamakan itu sperma/mani. Pertanyaannya sama pula, Jijik kan?
Lho, bukannya proses seseorang menjadi manusia dari pertemuan si cairan itu dengan sel ovum kan? Lalu, kita pernah berbicara "jijik" atau " (men-) Jijik (-kan)nya?

Jumat, 04 November 2011

Kelak

kelak, aku ingin melewati setiap hari bersamamu
bukan dengan istimewa, karena bersamamu adalah suka.
kelak, aku ingin melewatkan rasa lelah, penat, dan duka bersamamu
bukan hanya itu, karena bersamamu adalah bahagia.
kelak, kelak, dan kelak...aku ingin mencintaimu dengan segenap hati yang ada.
"Aku sadar, memilihmu adalah anugrah. Maka dari itu, aku takkan melewati setiap persentuhan denganmu".
de omnibus dubitantum ...
Namun, takkan ragu.. takkan ragu tuk menikah sejak awal cerita.

Kamis, 20 Oktober 2011

Telisik

Rasanya terlalu menggelitik jika harus mengulas masalah ‘telisik’, ‘menelisik’, dan segala hal yang berakhir dengan isik-isik. Jam di rumah mengatakan melalui bunyi yang dikeluarkannya, aku hitung ternyata ada denting tiga kali banyaknya yang berbunyi. Aku tak ambil peduli karena baru pukul tiga saja. Setelah sebentar menelisik ternyata pukul tiga dini hari. Dengan gaya ‘Olga’ spontan aku berujar; “OMG, sudah selarut ini”. Dan ternyata aku terlalu mendalami setiap lembaran buku Mereka Yang Dilumpuhkan karya Pramoedya Ananta Toer. Ya, seperti itulah bergumul dengan anak rohani dari Pramoedya. Seolah waktu takkan cukup untuk menghentikan geliat apresiasi terhadap setiap lembaran karyanya.

Telisik punya selisik. Aku hampir tak pernah lupa mencatat setiap waktu dari buku yang aku beli. Tercatatlah Februari 2009 dari Pameran Buku Bandung, yang aku temukan dalam halaman awal buku Mereka Yang Dilumpuhkan. Telisik punya selisik pula, ini merupakan rangkaian pembacaan terhadap buku ini yang untuk ketiga kalinya. Tapi yang menarik, ketika awal minggu tanggal 5 Juli 2010 aku seperti merasa membaca buku tersbut untuk pertama kalinya. Seperti ada energy yang berlebih, aku menggulum buku tersebut, semakin dalam dan dalam lagi terasa aroma humanism dan sejarah yang kental dalam setiap persentuhannya. Inilah yang menarik dari setiap bentuk apresiasi terhadapa karya-karya Pramoedya Ananta Toer.

Bukan. Ya, bukan. Ini bukan sekedar rasa yang memang suka, kagum, gemar dan menggemari setiap karya yang tegaris oleh Pram untuk menjadi karya yang agung. Ini benar sebuah rasa yang menyenangi setiap tuturan yang tertuang dalam bentuk untaian kata. Setiap pergumulan tersebut selalu menimbulkan permintaan rasa yang memaksa untuk:

“Ajari aku untuk menjadi bias sepertimu, Pram”.

Ya, bisa untuk menyumbangkan secercah nuansa baru untuk dunia. Seperti yang selalu kubaca dan membuatku bangga darimu: “Sumbangsih Indonesia untuk Dunia”.

Telisik punya selisik. Ini merupakan jawaban dari setiap makna yang kau siratkan dalam setiap kata yang tertuang:

“Kini nyata olehku: tidur adalah kurnia alam yang maha besar! dalam tidur ini orang kembali menjadi bayi yang baru dilahirkan—suci dan sempurna sebagai manusia walaupun pasif”.

Tapi sekarang kau sudah tertidur tenang. Dan aku?

“Aku tak juga bisa tidur! Aku mau tidur. Aku mau melupakan segala-galanya—juga mau melupakan panas yang mulai membakar daging. Tapi tak juga bisa”.

Menelisik kebelakang, dan ternyata aku sadar: “aku sedang dalam nestapa tanpa ujung jua!”.

:sudah dini hari ini. Aku hendak tertidur pula, Pram.

Kamis, 06 Oktober 2011

yang akan terjadi (kelak)


"aku menunggu Desember itu tiba. Entah kesurupan apa aku ini, setiap mengingat Desember selalu berkecamuk dalam hati yang ingin segera mempersuntingmu".
Terima kasih, kau terima pertunangan indah ini. Bahagia meski mungkin tak sebebas merpati
-Begitu kata 'Kahitna'-

Sabtu, 01 Oktober 2011

yang belum selesai

Ada jeda yang terlalu jauh jika diukur dengan jarak angka. Ada waktu yang terlalu lama untuk sebuah penantian janji. Setelah,
berakhirnya September yang lalu. Kemudian ada seutas harap akan 'kejadian'..
"Kita jadian?" begitu katamu. Lalu aku?
"Mari bersama..."







: ah, Desember begitu lama aku menunggumu..

Kamis, 18 Agustus 2011

Renungan 66

Aku kira, aku pikir ini posisi yang menyenangkan—untuk kita. Mengapa? Ya, karena aku, kamu, dan semuanya bisa berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Lho??? Ya, iyalah. Diposisi seperti ini—posisi 66—harusnya bisa sama rata sama rasa. Bisa adil, bijaksana loh jinawi (yang sayang hanya sebuah slogan semata). Posisi ini mengajak kita sejahtera sebagai bangsa, yang lagi-lagi aku harus mengatakannya “seharusnya!”. Namun, sekedar renungan saja dan ini hanya gundah sepihak dari si-Aku, yang notabene bagian kecil juga dari republik ini.

Aku kira, aku pikir posisi ini mungkin tidak merangsang—pihak pemerintah. Mengapa? Karena mereka butuh sensasi dengan berbagai alasan politis yang manis. Lho??? Ya, iyalah. Mereka lebih senang dengan emosi liar yang lebih erotis. Biar bisa lebih adil, nikmat, dan terpuaskan bersama—katanya. Jadinya sama rasa kan? Walaupun belum tentu sama rata.

Pola ini yang mereka kembangkan: Posisi/ Gaya 69, “Ah...Nikmat”. Kata mereka.




: Untuk HUT RI yang Ke 66...Jayalah selalu negeriku!

Selasa, 16 Agustus 2011

:Sebuah Pesan

Berdasarkan serupa makna yang ada, aku berlari mengejar semua yang tak sama dalam penantian akan sepi. Aku berupaya menunggu sesuatu yang tampaknya pasti, namun angan ingin berlari kembali dalam balutan duka yang semakin menyiksa. Oh, mengapa ada satu galau rasa? Tidak berhenti dalam sebuah harap yang pasti akan pada suatu makna yang satu. Hari ini tepat disekitaran bulan Agustus yang panas, aku berlari kembali dalam setiap pancaran setiap sinar matari yang menyengat.

Hidup harus terus berjalan—meski—tanpamu.

Jumat, 05 Agustus 2011

Elegi

Biarkan saja irama angin yang ada mengajakmu kemari, biar
rasa yang ada antara kita beradu dalam setiap pusaran mata angin
Biarkan saja waktu berlalu, karena langkah kita terlalu padu untuk sekedar berlalu
begitu saja
aku berujar, "jangan dengarkan mereka..."
biar
berlalu seperti kentut--yang hakikatnya angin juga, bukan?

Rabu, 13 Juli 2011

Secangkir Rindu

"Secangkir kopi saja cukup!" Pesanku saat itu.
Secangkir kopi dengan seruput kenikmatan. Setidaknya menghilangkan duka--yang mungkin sebetar lagi datang--ketika kamu pergi. Biar saja aku nikmati barang sebentar wajahmu, sambil menikmati secangkir kopi ini.
"Ini keputusan berat bagiku untuk meninggalkan asa". Begitu katamu. Namun, sayangnya semua tampak nyata ketika kata sudah tak mampu lagi mengajakmu untuk bertahan--di sini. Dengan upaya apa lagi agar semua rancana itu bisa berhenti sebatas wacana saja? Masih banyak titian yang mungkin bisa kamu capai sebagai bagian dari alu waktu. Bersama di sini dengan sebatas rangkaian ilmu yang coba direguk olehmu.
"Aku tidak bisa memaksamu!".
Mungkin saat ini kamu siap bergegas untuk pergi, yang entah kemana, kapan, dan untuk sesuatu hal apa aku tak tahu. Akan menjadi sebuah kenangan ketika pergi, sama seperti saat pertama berjumpa. Karena pada dasarnya setiap pertemuan dan perpisahan hakikatnya sama, bagaimana kita memaknainya.
Dalam secangkir kopi tidak hanya bercerita tentang persahabatan, obrolan, dan gurauan semata. Namun lebih jauh bagaimana menghilangkan rasa pahit yang ada dalam diri, agar rasa manis ada kembali seperti kopi dengan gula yang menyatu.
"Secangkir teh manis saja cukup!" Pintaku saat ini. Karena secangkir kopi akan mengingatkanku padamu.



p.s.: Untuk "F" semoga menemukan nuansa baru yang lebih indah. Kami di sini merasa kehilanganmu--sungguh.

Selasa, 05 Juli 2011

Pagi ini


Ada kebiasaan yang akhir-akhir ini menjadi rutinitas disetiap paginya. Disetiap pagi yang sejuk, setelah kokok ayam yang selalu setia menemani, aku segera bergegas meneguk segelas air putih. Lalu membuka pintu dengan penuh harapan. Ada yang menarik di sudut belakang rumahku. Ada sekelebat embun pagi yang coba menerawang dalam setiap paginya. Sisa udara yang masuk dalam setiap nafas tadi malam seolah menyeruak sesak menjadi nafas baru. Dalam pagi yang sejuk ini aku mencoba menelaah makna sinaran yang belum hendak beradu dalam mengawali hari ini. Aku termenung di sela antara tapal batas kerinduan.
Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya yang telah menjadi ruinitas, aku melihat ada bayangan dirimu dalam embun pagi yang berkelebat. Entah hanya terbawa nuansa sejuk yang ada, atau aku hanya sekedar merindu tentang asmara yang merana. Lagi-lagi yang ada gemericik air dalam pupil mataku ini. "Oogh...".
Pagi ini, seperti kebiasaan di pagi-pagi sebelumnya. Ada tetes yang menetes dalam setiap paginya, padahal tidak ada hujan pagi ini.

Senin, 20 Juni 2011

Ada cerita

Setelah hari ini tentunya akan ada esok, minggu, bulan, tahun menahun. Tak terasa sudah hampir satu semester aku melanjutkan studi, sejenak berharap bahwa cita-cita masih tertanam dalam jiwa untuk terus menuntut ilmu. inilah sekilas potret aktivitas studiku di Universitas Padjajaran Bandung, Program Studi Sastra Kontemporer.



Prof. Sapardi Djoko Damono

Dr. Titin Ma'sum



















Dr. Yati Aksa


Jumat, 27 Mei 2011

tatal rindu


Ada rasa yang telah lama tertambat dalam hati. Selaksa sukma yang tertanam dalam jiwa, seperti akar yang mengakar. Entah mengapa aku hanya bisa berkelakar, ketika aku sambut rupa wajah yang menjumput penuh harapan.
Aku pancangkan hati atas nama samsara yang kulalui. Hingga kelak ada cerita antara aku dan engkau...(dalam satu nama: cinta)

Selasa, 24 Mei 2011

Dongeng Senja


Suatu ketika,
tadinya aku tak ingin berandai-andai lagi. tapi, setelah sore kemarin aku mulai kembali berandai tentang kejadian.
seandainya kau masih hidup, tentunya aku tak akan seperti ini. aku selalu dipermainkan oleh perasaan, yang tak tahu selalu membawa ke lembah sengsara dan nestapa. seandainya kau masih hidup, tentunya kita akan bahagia bersama. bersama mengapai cita yang sama, karena sesungguhnya dirimu yang dapat mengerti aku. namun, sekarang hanya bagian dari cerita yang tak mungkin kembali lagi. Ya, seandainya...
seandainya kau tak angkuh, tentu kita tak perlu selalu bertengkar seperti ini terus. karena bahagia tidak datang dari langit, jadi kita musti memperjuangkannya. seandainya kau tak angkuh, tentunya kita bisa berbahagia, karena saat ini hanya kau yang menjadi citaku. namun, masih adakah sekarang rasa tentang asmara tersebut? Seandainya saja...
seandainya saja tak ada lelah, tentunya aku masih berharap tentang satu cita bersama denganmu. seperti rasa yang selalu kita jaga, kita bersama dari ketiadaan tentang rasa yang masing-masing hampa. seandainya saja tak ada lelah, tentu saat ini kita masih bisa tertawa. namun, kau terlalu egois dan tak pernah berpikir panjang tentang problema. seandainya saja...
sendainya saja semua ini terjadi, tentunya aku tak tahu harus berbuat apa lagi. setelah sebelah sayapku telah rusak, kini kau rusak kembali sayap yang ada sebagai penyangga hidupku. namun, ini hanya sebuah cerita saja. tanpa pretensi apapun, dan tentunya aku harap tak pernah terjadi.

Selasa, 12 April 2011

12 April 2011

ada-ada saja. ya. ada-ada saja hal mengingatkanku padamu. entah sengaja maupun tidak, entah melalui barang ataupun seseorang (yang tak sengaja) mengingatkanku padamu. ya, ada-ada saja rupa yang selalu mengingatkanku padamu.

setidaknya ada suasana hangat yang masih terasa, ketika aku jejakkan kaki kembali ditempat ini. tempat dimana kita sering bercengkrama. tentunya kamu masih ingat kala aku menjadi objek percobaanmu. yang dengan riangnya aku begitu senang. "Tapi itu cerita dulu". begitu kira-kira jawabanmu saat ini. sadar dengan makna kata 'dulu', aku larut dalam kenangan tentangmu.

saat ini sudah pertengahan bulan April. bulan yang tentunya masih aku ingat betul. Tepat ditanggal sekarang ini, di bulan April, ada cerita (dulu) tentang masa depan dan cita-cita. ingat janji yang terucap?
"Kelak kita akan kembali lagi ditempat ini, tentunya menjadi individu yang lebih berguna lagi".
seperti itu kenangan yang ada (tertanam) dalam ingatanku.

:aku berusaha adil dengan yang ada

Selasa, 29 Maret 2011

Rona Asmara


Saat ini, tentunya cerita berisi tentang aku dan kamu. Bagai pantai yang begitu setia pada lautan, begitu pula rasa ini terus berpautan dengan selaksanya. Aku dan Kamu tentunya akan selalu ingat masa ini. Masa dimana kita mulai merajut janji setia untuk bersama dalam cinta. Ya, diakhir Maret yang membiru. Karena aku-- Si Rendi yang menggodamu..
Sejak pertemuan pertama, aku sudah jatuh cinta padamu. Jatuh hati hingga merasa adanya satu rasa yang mesti bertalu dalam irama cinta. Seperti alunan musik, setiap nada yang tercipta menjadi harmoni suara yang indah. Aku ingin mencintaimu, melalui nada C Mayor 7 yang tercipta menjadi sebuah lagu dengan lirik seperti ini:

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US KO X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Rona Asmara

(cipt: iDaites)

Setiap manusia pasti pernah merasakan asmara cinta, atau lebih tepatnya terjebak dalam kekakuan, kebisuan, ketakberdayaan menghadapi cinta. Ya, kadang cinta tak mengenal waktu. Datang tak terduga, dan pergi pun menyakitkan. Lalu bagaimana kita menyikapinya? “Berikan dia senyum manismu, ketika awal dan akhir dari sebuah cinta”. Ah, asmara...ketika kulihat pada rona wajahmu.

Dengarlah kasih, aku bicara

Tentang cerita asmara kita

Tak perlu lagi ragu dihatimu

kita raih bahagia bersamaku

Coda;

Dan bila esok ragu masih mengganggu

Ku pastikan ku selalu ada untukmu

Reff;

O...dirimu

pancarkan rona asmara cinta di hatiku

O...dirimu

hanya cinta satu yang tersemai di hatiku selalu

(dan itu kamu, dan itu kamu)

Kudendangkan lagu hanya untukmu

Sebagai ungkapan rasa dihatiku

Tak perlu lagi ragu dihatimu

Kita sambut bahagia bersamaku

Coda;

Dan bila esok ragu masih mengganggu

Ku pastikan ku selalu ada denganmu

Back to reff...


Kita nikmati bersama lagu ini nanti. Aku memetik gitar dan Kamu menyayi (karena aku tahu suaramu indah).


: Hadiah (lagu) sederhana yang bisa aku berikan padamu. Nikmati saja, dinda.