Rabu, 13 Juli 2011

Secangkir Rindu

"Secangkir kopi saja cukup!" Pesanku saat itu.
Secangkir kopi dengan seruput kenikmatan. Setidaknya menghilangkan duka--yang mungkin sebetar lagi datang--ketika kamu pergi. Biar saja aku nikmati barang sebentar wajahmu, sambil menikmati secangkir kopi ini.
"Ini keputusan berat bagiku untuk meninggalkan asa". Begitu katamu. Namun, sayangnya semua tampak nyata ketika kata sudah tak mampu lagi mengajakmu untuk bertahan--di sini. Dengan upaya apa lagi agar semua rancana itu bisa berhenti sebatas wacana saja? Masih banyak titian yang mungkin bisa kamu capai sebagai bagian dari alu waktu. Bersama di sini dengan sebatas rangkaian ilmu yang coba direguk olehmu.
"Aku tidak bisa memaksamu!".
Mungkin saat ini kamu siap bergegas untuk pergi, yang entah kemana, kapan, dan untuk sesuatu hal apa aku tak tahu. Akan menjadi sebuah kenangan ketika pergi, sama seperti saat pertama berjumpa. Karena pada dasarnya setiap pertemuan dan perpisahan hakikatnya sama, bagaimana kita memaknainya.
Dalam secangkir kopi tidak hanya bercerita tentang persahabatan, obrolan, dan gurauan semata. Namun lebih jauh bagaimana menghilangkan rasa pahit yang ada dalam diri, agar rasa manis ada kembali seperti kopi dengan gula yang menyatu.
"Secangkir teh manis saja cukup!" Pintaku saat ini. Karena secangkir kopi akan mengingatkanku padamu.



p.s.: Untuk "F" semoga menemukan nuansa baru yang lebih indah. Kami di sini merasa kehilanganmu--sungguh.

Selasa, 05 Juli 2011

Pagi ini


Ada kebiasaan yang akhir-akhir ini menjadi rutinitas disetiap paginya. Disetiap pagi yang sejuk, setelah kokok ayam yang selalu setia menemani, aku segera bergegas meneguk segelas air putih. Lalu membuka pintu dengan penuh harapan. Ada yang menarik di sudut belakang rumahku. Ada sekelebat embun pagi yang coba menerawang dalam setiap paginya. Sisa udara yang masuk dalam setiap nafas tadi malam seolah menyeruak sesak menjadi nafas baru. Dalam pagi yang sejuk ini aku mencoba menelaah makna sinaran yang belum hendak beradu dalam mengawali hari ini. Aku termenung di sela antara tapal batas kerinduan.
Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya yang telah menjadi ruinitas, aku melihat ada bayangan dirimu dalam embun pagi yang berkelebat. Entah hanya terbawa nuansa sejuk yang ada, atau aku hanya sekedar merindu tentang asmara yang merana. Lagi-lagi yang ada gemericik air dalam pupil mataku ini. "Oogh...".
Pagi ini, seperti kebiasaan di pagi-pagi sebelumnya. Ada tetes yang menetes dalam setiap paginya, padahal tidak ada hujan pagi ini.