Kamis, 20 Oktober 2011

Telisik

Rasanya terlalu menggelitik jika harus mengulas masalah ‘telisik’, ‘menelisik’, dan segala hal yang berakhir dengan isik-isik. Jam di rumah mengatakan melalui bunyi yang dikeluarkannya, aku hitung ternyata ada denting tiga kali banyaknya yang berbunyi. Aku tak ambil peduli karena baru pukul tiga saja. Setelah sebentar menelisik ternyata pukul tiga dini hari. Dengan gaya ‘Olga’ spontan aku berujar; “OMG, sudah selarut ini”. Dan ternyata aku terlalu mendalami setiap lembaran buku Mereka Yang Dilumpuhkan karya Pramoedya Ananta Toer. Ya, seperti itulah bergumul dengan anak rohani dari Pramoedya. Seolah waktu takkan cukup untuk menghentikan geliat apresiasi terhadap setiap lembaran karyanya.

Telisik punya selisik. Aku hampir tak pernah lupa mencatat setiap waktu dari buku yang aku beli. Tercatatlah Februari 2009 dari Pameran Buku Bandung, yang aku temukan dalam halaman awal buku Mereka Yang Dilumpuhkan. Telisik punya selisik pula, ini merupakan rangkaian pembacaan terhadap buku ini yang untuk ketiga kalinya. Tapi yang menarik, ketika awal minggu tanggal 5 Juli 2010 aku seperti merasa membaca buku tersbut untuk pertama kalinya. Seperti ada energy yang berlebih, aku menggulum buku tersebut, semakin dalam dan dalam lagi terasa aroma humanism dan sejarah yang kental dalam setiap persentuhannya. Inilah yang menarik dari setiap bentuk apresiasi terhadapa karya-karya Pramoedya Ananta Toer.

Bukan. Ya, bukan. Ini bukan sekedar rasa yang memang suka, kagum, gemar dan menggemari setiap karya yang tegaris oleh Pram untuk menjadi karya yang agung. Ini benar sebuah rasa yang menyenangi setiap tuturan yang tertuang dalam bentuk untaian kata. Setiap pergumulan tersebut selalu menimbulkan permintaan rasa yang memaksa untuk:

“Ajari aku untuk menjadi bias sepertimu, Pram”.

Ya, bisa untuk menyumbangkan secercah nuansa baru untuk dunia. Seperti yang selalu kubaca dan membuatku bangga darimu: “Sumbangsih Indonesia untuk Dunia”.

Telisik punya selisik. Ini merupakan jawaban dari setiap makna yang kau siratkan dalam setiap kata yang tertuang:

“Kini nyata olehku: tidur adalah kurnia alam yang maha besar! dalam tidur ini orang kembali menjadi bayi yang baru dilahirkan—suci dan sempurna sebagai manusia walaupun pasif”.

Tapi sekarang kau sudah tertidur tenang. Dan aku?

“Aku tak juga bisa tidur! Aku mau tidur. Aku mau melupakan segala-galanya—juga mau melupakan panas yang mulai membakar daging. Tapi tak juga bisa”.

Menelisik kebelakang, dan ternyata aku sadar: “aku sedang dalam nestapa tanpa ujung jua!”.

:sudah dini hari ini. Aku hendak tertidur pula, Pram.

Kamis, 06 Oktober 2011

yang akan terjadi (kelak)


"aku menunggu Desember itu tiba. Entah kesurupan apa aku ini, setiap mengingat Desember selalu berkecamuk dalam hati yang ingin segera mempersuntingmu".
Terima kasih, kau terima pertunangan indah ini. Bahagia meski mungkin tak sebebas merpati
-Begitu kata 'Kahitna'-

Sabtu, 01 Oktober 2011

yang belum selesai

Ada jeda yang terlalu jauh jika diukur dengan jarak angka. Ada waktu yang terlalu lama untuk sebuah penantian janji. Setelah,
berakhirnya September yang lalu. Kemudian ada seutas harap akan 'kejadian'..
"Kita jadian?" begitu katamu. Lalu aku?
"Mari bersama..."







: ah, Desember begitu lama aku menunggumu..