Jumat, 23 November 2012

CERITA PAGI


Di setiap pagi, kamu tahu apa yang paling aku rindu?
kecupanmu yang membuatku terjaga dari lelap.
Di setiap pagi, kamu tahu apa yang paling aku mau?
tawaran hangat darimu sembari memelukku.
"teh manis ya?" katamu.
Di setiap pagi, kamu tahu apa yang selalu aku ingat?
peringatan darimu untuk selalu menutup lemari.
karena, "kebiasaan deh suka gak ditutup lemarinya" katamu.
Setiap hari, kamu tahu apa yang selalu aku jaga?
Hati.
"Jaga hati ya, sayang" katamu.
dan selalu karenamu, aku jadi ingat setiap pagi bersamamu.


Bagaimana Jika (Aku) Bukan Muhammadiyah?



“Hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah...”

Kata Muhammadiyah di atas menunjukkan sebuah nomina (kata benda), yang berarti kita memaknainya dengan merujuk bahwa Muhammadiyah itu sebagai organisasi. Oleh karena itu, jelas dalam pola kalimat di atas rujukannya untuk orang/seseorang yang mengabdikan dirinya pada organisasi tersebut. Maka jika diartikan secara sederhana, makna yang bisa didapat setelah menafsirkan kalimat di atas adalah: jangan mencari (mengharapkan) sesuatu dari Muhammadiyah, tapi perbuatlah sesuatu untuk Muhammadiyah.
Kalimat di atas seolah menjadi  jargon (jika boleh dikatakan seperti itu) yang menjadi pesan moral kepada setiap orang yang mau mengabdikan dirinya pada organisasi tersebut. Sebagai sebuah organisasi yang telah mapan, Muhammadiyah menunjukkan eksistensinya dalam konteks sumbangan organisasi masyarakat bagi negara/bangsa pada khususnya. Fokus amal (sumbangsih) yang dikedepankan oleh Muhammadiyah adalah dalam segi pendidikan. Hal tersebut terbukti (konsisten) dengan banyak dan berkembangnya sekolah-sekolah, maupun perguruan tinggi yang tersebar dihampir seluruh Indonesia. Termasuk dalam hal ini tentunya Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) sebagai bagian dari amal usaha tersebut.
Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman Yogyakarta, memiliki empat fokus utama yang menjadi pedomannya. Fokus tersebut terletak pada penghilangan bentuk perilaku Musyrik, Bidah, Khurofat, dan Takhayul. Keempat perilaku (salah) tersebut menjadi penanda jaman saat itu, ketika agama Islam yang masuk ke Nusantara telah berasimilasi dengan kepercayaan/kultur budaya yang sebelumnya ada. Konsep tersebut tentunya didorong oleh situasi dan kondisi yang menyertainya. Empat hal tersebut menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama Muhammadiyah didirikan sebagai bagian dari upaya meluruskan kembali arus keimanan dalam beragama Islam. Semata-mata aspek tersebut merupakan landasan dalam mencapai masyarakat yang lurus, konsisten, dan benar dalam menggunakan Al Quran dan Hadist sebagai acuan dalam menjalankan hidup di dunia ini.
Muhammadiyah menjadi pusat muslim saleh yang progresif dengan gerakan yang cenderung modernis dan reformis. Disebut reformis karena sebagaimana yang tersirat dari namanya, Muhammadiyah (pengikut Nabi Muhammad), lebih menekankan pemahaman dan pendalaman (ijtihad) atas kitab suci Al Quran dan mendorong kepercayaan kembali kepada kebentuk suci seperti yang diajarkan dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw dan keempat khalifah sesudahnya.
Sementara itu disebut modernis karena Muhammadiyah mempropagandakan ajaran Islam “secara jaman sekarang”. Sekolah-sekolah Muhammadiyah didirikan pada 1912 di Kauman, kemudian sepanjang tahun 1910-an beberapa sekolah didirikan didaerah lainnya. Semuanya meniru sekolah bumiputra pemerintah yang mengajarkan pelajaran agama Islam maupun sekuler.
Muhammadiyah bergerak seiring perkembangan jamannya, maka berdasarkan alu perkembangan tersebut hoofbestuur Muhammadiyah (seperti yang terdapat pada buku  “Dasar-dasar Gerakan Muhammadiyah”) menjejakkan dan mengokohkan dengan; Memperdalam masuknya Iman, memperluas paham agama, memperhalus budi pekerti, menuntun amalan Intiqad, menguatkan persatuan, menegakkan keadilan, melakukan kebijaksanaan, menguatkan Majlis Tanwir, mengadakan koferensi bagian, memusyawarahkan putusan, mengawaskan gerakan dalam, menyambungkan gerakan luar.
Keimanan merupakan aspek utama yang dikedepankan dalam rangka beragama. Termasuk dalam ruh organisasinya, Muhammadiyah selalu mengedepankan pendalaman ihwal iman tersebut. Tafsir langkah Muhammadiyah setelah memperdalam keimanan tersebut diwujudkan dalam langkah memperluas pemahaman agama. Untuk hal ini perlu saya ketengahkan bahwa dalam konteks tafsir langkah tersebut ada tentunya “kebersamaan” dalam satu visi memajukan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi.
“Bagaimana jika (aku) bukan Muhammadiyah?” pertanyaan yang mendasar dengan mempertimbangkan pula kata Muhammadiyah tersebut yang merujuk pada sebuah perkumpulan/organisasi masyarakat. Tentunya ini terkait dengan pemahaman dalam konteks perluasan paham agama, yang jika kita kembali mengingat bahwa agama Islam tidak mengikat paham. Namun perluasan paham dalam agama itu harus dengan syarat dan bahan-bahan yang telah ditetapkan dalam agama. Sekali-kali tidak boleh seseorang memahami agama menurut hawa nafsu atau kehendak hati sendiri.
Dengan demikian, pertimbangan di atas dapat menjadi rujukan dalam merumuskan jawaban akan pertanyaan yang muncul tersebut. Tentunya perluasan paham dalam beragama tersebut perlu menjadi letak dasar dalam mengembangkan Muhammadiyah dalam era kontemporer yang ada sebagai kemajuan jaman. Sejarah telah mengajarkan bagaimana kita harus lebih arif dalam bertindak, dan menjadikannya contoh yang nyata dalam merangkai masa depan yang lebih baik.
Saya yakin Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) didirikan berdasarkan ruh yang tertambat dalam kerangka langkah gerakan Muhammadiyah tersebut. Perlu sebuah kontemplasi diri dari masing-masing bagian untuk merujuk kembali pada amanat yang tertuang dalam langkah hoofbestuur sebagai refleksi terhadap apa yang menjadi cita-cita mulia, seperti juga yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar kita yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan kader ataupun bukan cita-cita tersebut harus menjadi titik tolak untuk sebuah kemajuan.
Amalan Intiqad menjadi suatu solusi dalam rangka mencapai cita-cita tersebut, yang tentu dapat mendatangkan kebaikan dan kesempurnaan. Setiap anggota Muhammadiyah ataupun bukan (belum) Muhammadiyah wajib mengamalkan amalan intiqad ini, sebagai upaya dalam mencapai amar ma’ruf dan nahi munkar. Dalam konteks kebersamaan tentunya ikhtiar yang paling baik yaitu dengan saling mengingatkan akan yang baik dan apa yang buruk demi mencapai keselamatan bersama.


Kutipan ayat di atas merupakan penutup esai ini, yang tentunya pula sebagai refleksi untuk kita dalam memaknai sebuah perbedaan dalam bingkai kebersamaan. Tentunya dengan tujuan untuk semakin mengamalkan amal inti dari setiap gerakan Muhammadiyah secara khususnya.

Sekedar bacaan
Shiraishi, T. (1997). An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926 (H. Farid, Trans.). Jakarta: Grafiti.
Tim Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jabar. 2009. Dasar-dasar Gerakan Muhammadiyah. Bandung: PWM Jabar.

Rabu, 14 November 2012

Sekam

Aku ingin berbicara tentang kenangan,
Tapi, "untuk apa?" katamu.
Aku ingin mengenang,
Tapi, "mengapa?" katamu.
Aku ingin senang,
Tapi, "bukankah?" katamu.
berbicara denganmu sama seperti mendekam bara dalam kelambu.

Kamis, 12 Juli 2012

Bersamamu


Kekasihku yang setia,
yang sampai akhir cerita asmara kita masih selalu mencinta. Berjuta kata takzim ingin kuucapkan padamu sebagai bagian dari rasa suka yang kadung melekat padamu.
Kekasihku yang setia,
Begitu banyak kata tanya yang selalu meminta, “ternyata kita bisa sampai pada titian cerita cinta ini”. Lalu kemana asmara ini akan bermuara, jawabanya ada di sini ketika hati mulai menyatu dalam sakramen cinta kita berdua.
Kekasihku yang setia,
Begitu aku takjub padamu. Ya. Kamu, sayang. Kamu yang selalu bisa meruntuhkan segala ego dalam diriku. Kata salut tentunya terlalu picisan jika harus mengganti takjub yang ada untukmu. Sebegitu besarkah rasa sayangku padamu?
Setelah hari ini, aku akan memanggilmu dengan sebutan ‘istriku’. Jadilah satu dengan diriku, menyatu dalam balutan asmara yang tak lagi tabu. Karena saat ini bukan lagi Aku dan Kamu, tapi semua tentang KITA.
Istriku, ini adalah sebuah ajakan dariku yang memintamu untuk bersinergi. Tentunya kamu mau bukan?
Istriku, “Mari bersama…”




idaites, Juni 2012

Sabtu, 02 Juni 2012

Simpul Hati (Sederhana)


Dari caramu melipat payung itu aku belajar. Bagaimana mungkin sesuatu yang lain harus sama dalam bentuk laku sederhana. Ya, sederhana.
“Hal yang seperti ini mah sederhana atuh…” Begitu katamu sembari jari lentikmu tetap menggerayangi sisian payung itu. Lalu bagaimana kamu bisa tahu, padahal aku tercengang melihat apa yang kamu lakukan. Setiap bentuk yang katamu sederhana tersebut seolah membuka kembali kenangan. Ya, bagaimana bisa kamu tahu, bahkan sedikitpun kamu tidak melihatku yang mulai meraba dengan banyak tanda yang—bingung—ada.
“Sudah selesai, sederhana bukan?” Seperti yang sejauh ini aku kenal, kamu tersenyum simpul mengguratkan suka. Senyumanmu membuatku sadar pada kenyataan, bahwa bukan dia yang hadir dalam setiap laku, ucap, dan senyum sederhanamu.
Masih dalam ingatanku bagaimana pertemuan kita yang dulu tampak tak sengaja. Kamu bergerak memendar pergi dengan rupa dingin yang secara nyata menjadi citramu. Padahal aku mengerti—saat ini—ketika alasan hadir sebagai jawaban dari rasa sungkan yang dulu ada sebagai bentuk tanya. Lalu, bukankah sederhana apa yang menjadi jawabitu? Sesederhana seperti yang kamu ucap saat melipat setiap bagian payung itu.
Jelas, saat ini aku sedang mengingat kembali ketika dengan sederhana kamu ada di depanku. Sambil tersenyum mengucapkan kata “sederhana”, aku mengingatmu pada payung yang saat ini ada pada genggamanku.

: tulisan sederhana, kawan (I. nanapu).

Jumat, 04 Mei 2012

Resi (ta-) tal..


1. Memahamimu
Bagaimana mungkin aku bisa percaya dengan kata-katamu? Kamu katakan padaku, “Patah tulang akan semakin menguatkan”, padahal sekarang aku patah hati karenamu. Sulit bagiku untuk menerima semuanya jika yang ada hanya maaf darimu. Setelah kejadian ini aku masih tak bisa melupakanmu, kenapa kamu tidak pergi saja dari hidupku. Ya, kenapa?
Dibalik jendela ini aku selalu menunggunya datang. Bukan datang memberi cium, peluk, atau cinta yang selama ini memihak pada kita berdua. Tapi, aku berharap kamu sekedar datang tersenyum dan memberi tahu bahwa kau masih mengingatku. Dibalik jendela ini aku pun selalu berharap bahwa aku segera bisa keluar dari kamar yang pengap ini. Tentunya kamu pun tahu, bahwa aku hanya bisa menangis jika mengingat mengapa aku harus berda di tempat seperti ini. Sulit bagiku untuk bisa melupakanmu, walaupun menurut mereka sebagian dari ingatanku telah hilang. Anehnya, ingatanku tentangmu tak bisa lekang digerus waktu. (1 Januari 2012)

2. Pesan
“Tapi kau takkan tahu kalau aku merana...”
Semalam tadi aku rasakan hangatnya dekapanmu. Aku tak sadar bahwa semalam tadi aku terlelap nyaman di sela pahamu yang empuk. Ah, rasanya resik bau kemaluanmu membuatku serasa di surga. Surga kenikmatan yang tiada tara. Kau elus terus kepalaku sambil menembang sebuah lagu lama. Dalam hal ini aku yakin bahwa suaramu memang merdu, sayang.
Kau tentunya mengerti akan gundahku. Kedalaman rasa yang kita bangun tentunya telah membuat kita mengerti akan suasana masing-masing hati. Katamu, “biar aku menebak nurani, tanpa harus berkata-kata”, begitu katamu saat itu. Aku semakin mengerti akan hati yang memadu diantara kita. Ini bukan masalah rasa sesaat, namun tentunya kau tahu sudah berapa lama aku sekadar untuk bisa merasa. Banyak waktu yang sudah kita rangkai menjadi bagian yang tidak lagi satu, tetapi sudah menjadi menyatu diantara kita berdua. (17 Februari 2012)

3. Selang Rasa
Apalagikah selain kenangan? Untuk mengingatmu saja saat ini aku sulit mewujudkannya. Semua ada setelah kata pisah yang kau ucapkan saat itu:
“Aku ingin rehat dari hubungan ini”.
Selepas pukul dua siang ini aku sempatkan untuk membuka Facebook-ku yang sudah beberapa hati ini tidak aku buka untuk sekedar sejenak rehat dari aktivitas yang ada. Ada beberapa pesan yang menunggu untuk dibuka lalu beberapa meminta respon untuk dibalas. Ada satu yang membuatku menarik ketika membuka tag pesan tersebut, terselip namamu. Lalu tak lama aku membuka pesan tersebut dan membaca isinya yang memang tertuju untukku.
“Aku ingin bertemu denganmu, di Café Goena. Temui aku ya, Ren”.
Ada rasa yang berbeda rasa dalam benakku ketika membaca pesan darinya. Entah mengapa memang terasa randu dalam syahdu. Aku rindu pada sapaan kata sayang yang biasa terucap dari mulutnya. Aku rindu kehangatan pelukan dari setiap inci badan yang merapat dengan tubuhku. Benarkah ini sebuah rasa rindu, ketika aku harus menghargai perasaan cemas yang ada saat ini. Benar sangat jangar terasa dalam diri yang merindumu, dinda. (21 Februari 2012)

4. Jeda...
Kabari aku selepas kau bangun dari tidur panjang ini...
Di persimpangan itu, tepatnya setelah KM 20. Aku tinggalkan dia yang tertidur pulas. Setelah sepanjang perjalanan aku dekap terus dirinya dalam hangatnya cinta. Namun, aku harus objektif dengan segala perasaan yang ada. Aku putuskan untuk meninggalkan dirinya.
Selang waktu;
Aku baru tersadar setelah bangun dari tidur panjangku. Aku juga baru tersadar, ketika aku sudah tak dipelukannya lagi. Aku sempatkan mencari keberadaan dirinya. Namun, setelah aku temukan kertas yang tertuju untukku, aku putuskan untuk berhenti mencarinya. Sejenak, aku baca memo darinya.
Tak lama aku putuskan untuk menghubunginya;
“Kamu dimana?”
“Ada di hatimu.”
“Lalu kenapa...” Belum sempat mengucap, dia telah menyela.
“Sudahlah. Sudah saja, biar rasa ini berlalu dengan sendirinya. Biar aku berjalan sendiri tanpa dirimu. Ini jalan yang kita pilih.” (Maret 2012)

5. Mengingatmu...
Harusnya aku sadari kehadiran dirimu dalam hidupku. Rasanya sudah setahun. Ah, tepatnya sudah berapa lama? Bahkan aku sudah lupa tentang awal cinta. Selaksa musim gugur, ingatan tentang dirimu berguguran dihempas alu cuaca yang normaltik. Perjalanan rasa tak mampu pula menggiring asa yang tercantum dalam benakku untuk mengenalmu lagi. Lupa ingatankah aku? Atau memang kamu memang belum sempat ada dalam nuansa hatiku?
Tanya tak selalu tuntut jawaban. Ada hal yang musti dijawab, dan ada hak untuk tak menjawab. Sebuah tanya tentang ragu pula tak pelak untuk di elak dalam sebuah kata TIDAK. Gugur sudah semua harap yang ada. Au makin tak bisa mengingatmu. Tolong jangan paksa aku tentang hal itu, tentang cinta, sayang, rindu, dan segala yang berbau asmara. Semua itu semakin menyakitkanku. Aku lupa saja rasanya diriku.
Musim akhirnya beranjak dingin. Salju bulan Desember menyerebak dalam alunan simfoni alam. Dingin suasana tak membuat ingatan tentangmu ada. Pernah kau berujar, “Di musim dingin ini pertama kali kau mengucapkan cinta untukku”. Ah, benarkah hal itu. Aku pernah berujar janji seperti itu? Apakah ada paksaan darimu kala itu? Atau kau menjebak diriku untuk berkata seperti itu? Dan aku terus berkelit dengan segala hal yang menuntut jawab.
Sepoi angin berujar halus, bunyinya menggetarkan bulu kudukku yang semakin menggigil. Seperti ini bunyinya; “Busttt, busttt, bustttt...” Ah, sepertinya angin ingin berkelakar denganku. Namun, sejenak aku teringat akan desahan nafas yang menyentuh kudukku. Tapi desahan apa ini? Siapa yang aku coba ingat. Ya, aku ingat akan kecupan dan desahan hangat dalam tubuhku. Kecupannya terasa dalam setiap hembusan angin itu. Dejavu, sepertinya ini pernah ada.
Kutentang arus bayangan tentang kecupan, dan semilir angin ini. tak jua tumbuh sedikit ingatan tentang suasana satu pun. Aku berlari menerjang butiran salju yang semakin deras menyerang bumi yang putih terhias depulan salju. Lagi aku tak bisa sekedar mengingat tentang rahasia ini. Semoga Dia masih ada dalam nirwana yang menerjemahkan semua sabda dalam alam dan sebagian angin yang mengecupiku berkali-kali.
Berbagi dengan sejenak ingatan yang masih lumpuh akan sebuah cerita. Karena aku tak melihat kebenaran yang logic dalam pandangan tentangnya. Aku berkesah selalu dengan tuntutan orang tentang sebuah kesempurnaan diri. Yang katanya, aku jenius, pintar, cerdas. Itu pandangan orang yang mengingatku. Lalu kenapa aku tak bisa mengingat semuanya jika aku jenius, pintar, cerdas. Apa bedanya antara jenius, pintar, cerdas? Mereka menjawab, “Singkatnya, jenius hasil hitungan dari sebuah kompetensi. Dan pintar dengan hati itu cerdas namanya”. Aku terlena dengan penjelasan tentang ku. Adakah dunia mengerti tentang resahku saat ini. Aku yang katanya cerdas, tak bisa—untuk saat ini—mengingat tentangnya.
Entah kemana alur cerita ini akan berlanjut. Akan klimaks kah? Atau ini masih sebuah eksposisi belaka? Mundurlah sang malaikat, aku akan beranjak ke sana. Jangan dulu kau tetapkan takdir untukku. Karena sebelum aku kembali, aku ingin mengingat dulu memori tentang diriku. Please aku mohon! (April 2012)

5. Mei 2012- Selamanya...










p.s.: Tenang-tenanglah, sayang jangan kau bimbang, sebentar lagi kan datang.. :)


Minggu, 22 April 2012

Catatan di KM. 26


Cukup berapa lamanya waktu tertambat laun menjejak pada sebuah perhentian sementara. Menuju destinasi yang merupakan puncak kesungguhan akan sebuah pencarian (sederhana), dan lagi aku mencari sesuatu makna yang sengaja aku tuangkan dalam bentuk nuansa cinta—padamu. Sekarang aku sedang menuju ke sana, ke rumah yang kau janjikan hangat dan penuh nuansa cinta satu. Sebentar lagi tepat di Kilometer sebelum 27 aku singgah sementara untuk menjemputmu. Ya, aku rasa titian jalan ke depannya ingin selalu bersama denganmu. Lalu, ada harapan sejenak perjalanan ini akan semakin bermakna dengan adanya dirimu yang membawa suasana yang lain tentunya. Suasana di mana akan ada ceria, bahagia, dan tentunya rasa yang selalu kau suguhkan sebagai bentuk cinta. Aku bersyukur.
Sebentar tadi—sepanjang perjalan—aku coba memikirkan tentang masa depan, tentang kita, tentang ruang yang akan kita isi dengan penuh rencana yang nyata. Selalu saja aku tersipu dengan banyak rencana konyol yang seolah harus mendahului takdirnya untuk menjadi nyata.
“Aku ingin begini... aku ingin begitu..” begitu katamu yang banyak mau. Lalu, aku hanya tertawa dengan segala sikap gilamu yang anehnya aku suka. Aku pernah katakan;
“Suaramu bagus untuk sebuah rasa, dan baiknya kita bernyayi bersama bukan? Mari bersama.”
Kelak tulisan ini akan menjadi bagian dari sejarah, sebagaimana kita berdua memaknai hubungan ini dengan penuh rasa yang dewasa. Untuk apa, katamu? Lalu akan kukecup bibirmu sebagai tanda bahwa aku menyayangimu. Sungguh.







p.s.: tunggu aku di KM. 27

Sabtu, 31 Maret 2012

Merekah (Rasa)

Menimang waktu yang sebentar berlalu. Sejumput ingin yang sejauh ini (syukur) terbeli. Dengan kamu yang tentunya selalu kuingin.
Selepas waktu ashar tadi aku coba mengingat tentang awal sebuah cerita (kita):
"Sekarang waktu yang tepat dua tahun lalu kita menyemai cerita" katamu yang mengingatkanku.
Kembali aku menelisik makna dari sebuah pertemuan. Sejauh ini aku coba berbuat yang bukan sekedar berkata (-kata).
"Untuk masa depan aku ingin mencintaimu lebih dari sekedar lusa, minggu, bulan, dan menahun tentunya".

Kamis, 08 Maret 2012

Kata Temu

"...perihal perjumpaan ini ibarat menemukan..." katamu.
Bagiku, "seperti bercermin dalam kaca yang jernih ada".
Kata 'temu'-saat ini- seolah menembus nuansa makna dari sekadar sebuah perjumpaan semata. Salah mungkin jika diawali sebuah 'Titik', karena bukannya titik selalu bermakna akhir dari sebuah awal? Lalu kita coba renungkan kembali lema yang menarik sebagai ungkapan kata (bahasa) dalam menerjemahkan makna kata 'temu' itu.
"Mana bagusnya? Air keruh seperti ini mana enak untuk dinikmati..." kataku
Dalam mithologi Yunani kita dikenalkan dengan narsisius yang kelak menjadi gejala narcism, sebuah gejala cinta yang riya. Dan yang menarik dari mithos tersebut yaitu medianya, dimana air menjadi sebab akan datangnya cinta yang riya tersebut. Bercermin melihat diri sendiri, lalu timbul cinta berdasarkan kejernihan yang nyata ada. (ber-) cermin menjadi pilihanku untuk mengungkapkan  perjumpaan ini, yang anehnya selalu ada 'temu' yang sama disela ucap kata. Mau bagaimana lagi, kita tampaknya sama dalam selera makna yang menemukan.Bagaimana jika kita sama cinta? Setidaknya mencintai diri kita dalam pantulan cermin yang memantulkan dirimu dalam bayangan diriku.
"Lalu?" Terusik dengan suasana yang mulai terasa.
"Kamu percaya Jodoh yang diberikan Tuhan untuk kita?"
...............................................................................................

 Aku ingin berbicara jodoh; "bukankah jodoh adalah titik temu itu, bukan?"
Seperti aku bahagia menemukan calon istriku (jodohku), seperti itu pula aku suka pertemuan dalam 'temu' yang unik denganmu.



:untuk kamu

Rabu, 07 Maret 2012

Titik Temu


Awal Cerita,
“Ternyata tak selamanya kita cuma bisa berdiam saja”. Katamu
“Bukannya kita sudah ngobrol bukan?”
Lalu tertawa sepertinya menjadi bagian asik dari nuansa yang tercipta dalam setiap canda.
“Begitu bukan?”
"Ya.." Katamu
Sejenak aku pandangi wajah ayu parasmu, yang entah mengapa lidahku sulit untuk sekedar memuji dalam sedikit bahasa. Aku melamun sembari memandangi arus air yang sejauh ini tak bisa mengusik setiap pandangan akan kebahagiaan makna.Yang tentunya makna ada sebagai bagian dari representasi akan nuansa--yang ada. 
"Hahaha..."
"Apa?" Kataku.
"Lucu"
"Lalu?"
Setiap pertemuan akan menemui titik syahdu dalam balutan suka. Yang anehnya, aku seperti bercermin darimu. Seperti melihat titik temu yang satu, sekilas pandang tentang laku yang coba (meN-) satu. Setidaknya bolehlah aku katakan ada makna lain yang kulihat dari cara berucap, menatap, dan memaknai perjumpaan ini. Sepertinya 'kita' bisa merasa satu seperti itu.
"Kalau Batak sendirian ngapain?" Kataku
.....................................................................




: Untuk sahabatku Ira Naomi N.P. "Ada ruang yang sengaja aku kosongkan untuk kau isi, kawan".

Sabtu, 03 Maret 2012

Poursouit

Seperti berkaca pada cermin yang bersih tanpa noda. Sekilas merenung pada apa yang dilihat pada sebercak noda yang coba meragukan akan keyakinan peran diri. Membuat semuanya jadi ingin ternyata tak semudah melihat cermin yang mengahadap pada diri. Aku tersentak akan garis lurus dari cermin diri. Setidaknya itulah yang terlihat ketika melihat sosok anak ruhaniku. Individualis, progresif, dan cermin sosialis yang melekat dalam sosok diri.
"Ternyata itulah cermin diri yang nyata ada. Entah aku harus menangis atau bangga dengan yang sejenis, karena itulah cermin diri yang nyata ada".

Selasa, 14 Februari 2012

untitled

:

Kebersamaan ini aku beri nama sebuah HARMONIE.

Entah mengapa aku ingin menyebutnya seperti itu. Pastinya, alunan sebuah cerita yang ada saat ini merupakan rangkaian peristiwa yang selalu membekas sebagai bingkai indah dalam nuansa. Ya, selalu indah berdua dengan berbagai macam cerita. Untukmu, cerita ini kubingkai dalam senja yang temaram namun tetap indah untuk dipandang.

Ada saat semua harus berubah. Semua mencari muara tempat bagi masing-masing diri untuk berpulang yang entah ada dalam suka maupun duka—dalam prosesnya. Setiap pencari tentunya akan semakin merasakan samsara dalam setiap perjalan yang ditempuhnya. Namun, bukankah setiap hidup ini adalah cobaan yang selalu coba kita terka? Benar dan akan adanya misteri seputar tentang waktu. Yang entah lagi-lagi kita hanya mencari muara di mana kita akan berada.

Lain dulu lain sekarang, lain pula cerita yang ada dalam bingkai senja yang temaram tadi. Membicarakanmu, rasanya takkan cukup untaian kata ini aku susun dalam beberapa susunan kalimat, lengkapnya paragraph, atau pun logisnya sebuah wacana. Karena aku menulis—cerita ini—bukan untuk dibaca secara kasat mata. Tapi ini ada antara makna dan tafsiran hati. Lho..bukankah bahasa selalu menampilkan berbagai makna dalam sebuah tafsiran? Dan bukankah setiap teks intinya terdiri dari manifest dan laten? Itu teorinya, dan makna kadang tak butuh hal yang sifatnya teoretis belaka, bukan?

“Atas nama samsara yang aku lalui, aku ucap rasa cinta yang dalam padamu”


: Aku menulis karena malam ini valentine