Sabtu, 31 Maret 2012

Merekah (Rasa)

Menimang waktu yang sebentar berlalu. Sejumput ingin yang sejauh ini (syukur) terbeli. Dengan kamu yang tentunya selalu kuingin.
Selepas waktu ashar tadi aku coba mengingat tentang awal sebuah cerita (kita):
"Sekarang waktu yang tepat dua tahun lalu kita menyemai cerita" katamu yang mengingatkanku.
Kembali aku menelisik makna dari sebuah pertemuan. Sejauh ini aku coba berbuat yang bukan sekedar berkata (-kata).
"Untuk masa depan aku ingin mencintaimu lebih dari sekedar lusa, minggu, bulan, dan menahun tentunya".

Kamis, 08 Maret 2012

Kata Temu

"...perihal perjumpaan ini ibarat menemukan..." katamu.
Bagiku, "seperti bercermin dalam kaca yang jernih ada".
Kata 'temu'-saat ini- seolah menembus nuansa makna dari sekadar sebuah perjumpaan semata. Salah mungkin jika diawali sebuah 'Titik', karena bukannya titik selalu bermakna akhir dari sebuah awal? Lalu kita coba renungkan kembali lema yang menarik sebagai ungkapan kata (bahasa) dalam menerjemahkan makna kata 'temu' itu.
"Mana bagusnya? Air keruh seperti ini mana enak untuk dinikmati..." kataku
Dalam mithologi Yunani kita dikenalkan dengan narsisius yang kelak menjadi gejala narcism, sebuah gejala cinta yang riya. Dan yang menarik dari mithos tersebut yaitu medianya, dimana air menjadi sebab akan datangnya cinta yang riya tersebut. Bercermin melihat diri sendiri, lalu timbul cinta berdasarkan kejernihan yang nyata ada. (ber-) cermin menjadi pilihanku untuk mengungkapkan  perjumpaan ini, yang anehnya selalu ada 'temu' yang sama disela ucap kata. Mau bagaimana lagi, kita tampaknya sama dalam selera makna yang menemukan.Bagaimana jika kita sama cinta? Setidaknya mencintai diri kita dalam pantulan cermin yang memantulkan dirimu dalam bayangan diriku.
"Lalu?" Terusik dengan suasana yang mulai terasa.
"Kamu percaya Jodoh yang diberikan Tuhan untuk kita?"
...............................................................................................

 Aku ingin berbicara jodoh; "bukankah jodoh adalah titik temu itu, bukan?"
Seperti aku bahagia menemukan calon istriku (jodohku), seperti itu pula aku suka pertemuan dalam 'temu' yang unik denganmu.



:untuk kamu

Rabu, 07 Maret 2012

Titik Temu


Awal Cerita,
“Ternyata tak selamanya kita cuma bisa berdiam saja”. Katamu
“Bukannya kita sudah ngobrol bukan?”
Lalu tertawa sepertinya menjadi bagian asik dari nuansa yang tercipta dalam setiap canda.
“Begitu bukan?”
"Ya.." Katamu
Sejenak aku pandangi wajah ayu parasmu, yang entah mengapa lidahku sulit untuk sekedar memuji dalam sedikit bahasa. Aku melamun sembari memandangi arus air yang sejauh ini tak bisa mengusik setiap pandangan akan kebahagiaan makna.Yang tentunya makna ada sebagai bagian dari representasi akan nuansa--yang ada. 
"Hahaha..."
"Apa?" Kataku.
"Lucu"
"Lalu?"
Setiap pertemuan akan menemui titik syahdu dalam balutan suka. Yang anehnya, aku seperti bercermin darimu. Seperti melihat titik temu yang satu, sekilas pandang tentang laku yang coba (meN-) satu. Setidaknya bolehlah aku katakan ada makna lain yang kulihat dari cara berucap, menatap, dan memaknai perjumpaan ini. Sepertinya 'kita' bisa merasa satu seperti itu.
"Kalau Batak sendirian ngapain?" Kataku
.....................................................................




: Untuk sahabatku Ira Naomi N.P. "Ada ruang yang sengaja aku kosongkan untuk kau isi, kawan".

Sabtu, 03 Maret 2012

Poursouit

Seperti berkaca pada cermin yang bersih tanpa noda. Sekilas merenung pada apa yang dilihat pada sebercak noda yang coba meragukan akan keyakinan peran diri. Membuat semuanya jadi ingin ternyata tak semudah melihat cermin yang mengahadap pada diri. Aku tersentak akan garis lurus dari cermin diri. Setidaknya itulah yang terlihat ketika melihat sosok anak ruhaniku. Individualis, progresif, dan cermin sosialis yang melekat dalam sosok diri.
"Ternyata itulah cermin diri yang nyata ada. Entah aku harus menangis atau bangga dengan yang sejenis, karena itulah cermin diri yang nyata ada".