Senin, 15 Juli 2013

Adam Nahari Sastraguna

Anak adalah anugrah terbesar untuk saya dan istri saat ini. Adam Nahari Sastraguna, yang secara etimologis dapat diartikan; Adam sebagai lelaki, Nahari (bahasa Arab) berarti Pengorbanan, Sastra (dari bahasa urdu Shastra) berarti baik, Guna yang dimaknai sebagai berguna. Adam Nahari Sastraguna, saya maknai sebagai lelaki baik dan berguna yang siap berkorban untuk agama, orang tua, dan bangsa. Amin.
Kelak, ketika dewasa nanti harapan kami semua makna yang tertera pada namanya akan menjadi nyata. amin.










Selasa, 18 Juni 2013

Geletar Rindu

Sepenggal rindu menyelinap dalam hening pagi
yang belum sempat aku tawarkan pada tegukan kopi pertama
kala embum masih menepi
lalu hanya tercipta sembulan asap dari aroma yang ada

Sepenggal rindu teramat menyayak dalam kelu hati
yang belum sempat terobati dalam duka
akan kenangan semalam yang belum beranjak pergi
lalu hanya kamu yang bisa membuat aku ragu

Sepenggal rindu yang ada hanya nuansa akan rupa
Sepenggal rindu yang ada hanya kamu yang ingin ku raba
Sepenggal rindu padamu, hanya sekilas segumpal selaksa hendak bermuara.
dan inilah sepenggal rindu yang hanya bisa kurawikan dalam kata

Cikembar, Juni 2013

Jumat, 08 Maret 2013

Sebatas Cerita

Sambil terus kupandangi pembatas buku itu...
“Kamu tentu tidak tahu betapa besar fungi pembatas buku itu?”
Pertanyaan tentang arti sekedar pembatas buku itu muncul, lalu entah mengapa selalu saja begitu mudah terlupa kembali ketika ada tanya lain mulai meminta jawab. Begitu selalu nuansa ada ketika aku mulai mengingat kembali tentang ragu yang menyelinap dalam sedikit tanya. Padahal saat ini aku sedang memegang pembatas buku ini, yang katamu:
“Ini dariku sebuah arti kecil yang paling mengerti apa yang ingin kamu batasi...”
Sambil terus kupandangi pembatas buku ini.
Kamu hadir lagi dalam sebatas ingatan yang aku lihat dari pemberian sekecil ini. Lalu, ada nuansa rindu (lagi) ketika sebatas ingin merasuki setiap buai mata terhadap barang yang masih tertingggal dan dapat kugapai. Setelah merasa cukup dengan setiap pesan alamiah melalui sasmita, aku coba merenungkan kembali berartinya dirimu bagiku. Namun, saat ini yang ada tanya. Mengapa hanya sebatas ini?
Sambil terus kupandangi pembatas buku ini.
Bisikanmu membuat aku terperanjat.
“Ssst...biar aku batasi semua lamunanmu.”
Bukan hanya kembali membumi, bisikannya lebih dari sekadar mengingatkan kembali aku jalan pulang ke dunia nyata, setelah sebelumnya terlalu lama mengawang-ngawang dalam ingatan tentang masa lalu. Bau nafasnya, desahannya, dan yang paling menyadarkanku yaitu kecupannya, membuat kembali ada batasan yang jelas antara ingatan dengan kenyataan yang saat ini ada. Aku balas kecupannya sambil berkata:
“Tapi ada yang gak bisa kamu batasi.”
“Apa?”
Aku batasi keingintahuannya dengan sekali lagi memberi kecupan. Padahal dalam pelukannya aku masih memegang pembatas buku ini. Pada malam yang membatasi seperti ini, pelukan menjadi solusi untuk terjaga dari setiap tanya tentang batasan-batasan yang nyata antara setiap kenangan dengan kenyataan yang ada. Padahal:
Aku masih pandangi pembatas buku ini, walaupun saat ini ada dalam pelukan dirinya.