Cukup berapa
lamanya waktu tertambat laun menjejak pada sebuah perhentian sementara. Menuju
destinasi yang merupakan puncak kesungguhan akan sebuah pencarian (sederhana),
dan lagi aku mencari sesuatu makna yang sengaja aku tuangkan dalam bentuk
nuansa cinta—padamu. Sekarang aku sedang menuju ke sana, ke rumah yang kau
janjikan hangat dan penuh nuansa cinta satu. Sebentar lagi tepat di Kilometer
sebelum 27 aku singgah sementara untuk menjemputmu. Ya, aku rasa titian jalan
ke depannya ingin selalu bersama denganmu. Lalu, ada harapan sejenak perjalanan
ini akan semakin bermakna dengan adanya dirimu yang membawa suasana yang lain
tentunya. Suasana di mana akan ada ceria, bahagia, dan tentunya rasa yang
selalu kau suguhkan sebagai bentuk cinta. Aku bersyukur.
Sebentar
tadi—sepanjang perjalan—aku coba memikirkan tentang masa depan, tentang kita,
tentang ruang yang akan kita isi dengan penuh rencana yang nyata. Selalu saja
aku tersipu dengan banyak rencana konyol yang seolah harus mendahului takdirnya
untuk menjadi nyata.
“Aku ingin
begini... aku ingin begitu..” begitu katamu yang banyak mau. Lalu, aku hanya
tertawa dengan segala sikap gilamu yang anehnya aku suka. Aku pernah katakan;
“Suaramu bagus
untuk sebuah rasa, dan baiknya kita bernyayi bersama bukan? Mari bersama.”
Kelak tulisan ini
akan menjadi bagian dari sejarah, sebagaimana kita berdua memaknai hubungan ini
dengan penuh rasa yang dewasa. Untuk apa, katamu? Lalu akan kukecup bibirmu
sebagai tanda bahwa aku menyayangimu. Sungguh.
p.s.: tunggu aku
di KM. 27