“Kamu tentu tidak tahu betapa besar fungi pembatas buku
itu?”
Pertanyaan tentang arti sekedar pembatas buku itu muncul,
lalu entah mengapa selalu saja begitu mudah terlupa kembali ketika ada tanya
lain mulai meminta jawab. Begitu selalu nuansa ada ketika aku mulai mengingat
kembali tentang ragu yang menyelinap dalam sedikit tanya. Padahal saat ini aku
sedang memegang pembatas buku ini, yang katamu:
“Ini dariku sebuah arti kecil yang paling mengerti apa yang
ingin kamu batasi...”
Sambil terus kupandangi pembatas buku ini.
Kamu hadir lagi dalam sebatas ingatan yang aku lihat dari
pemberian sekecil ini. Lalu, ada nuansa rindu (lagi) ketika sebatas ingin
merasuki setiap buai mata terhadap barang yang masih tertingggal dan dapat
kugapai. Setelah merasa cukup dengan setiap pesan alamiah melalui sasmita, aku
coba merenungkan kembali berartinya dirimu bagiku. Namun, saat ini yang ada tanya.
Mengapa hanya sebatas ini?
Sambil terus kupandangi pembatas buku ini.
Bisikanmu membuat aku terperanjat.
“Ssst...biar aku batasi semua lamunanmu.”
Bukan hanya kembali membumi, bisikannya lebih dari sekadar
mengingatkan kembali aku jalan pulang ke dunia nyata, setelah sebelumnya
terlalu lama mengawang-ngawang dalam ingatan tentang masa lalu. Bau nafasnya,
desahannya, dan yang paling menyadarkanku yaitu kecupannya, membuat kembali ada
batasan yang jelas antara ingatan dengan kenyataan yang saat ini ada. Aku balas
kecupannya sambil berkata:
“Tapi ada yang gak
bisa kamu batasi.”
“Apa?”
Aku batasi keingintahuannya dengan sekali lagi memberi
kecupan. Padahal dalam pelukannya aku masih memegang pembatas buku ini. Pada
malam yang membatasi seperti ini, pelukan menjadi solusi untuk terjaga dari
setiap tanya tentang batasan-batasan yang nyata antara setiap kenangan dengan
kenyataan yang ada. Padahal:
Aku masih pandangi pembatas buku ini, walaupun saat ini ada
dalam pelukan dirinya.