Dalam temaram lampu malam, aku mengingat (lagi) semua yang
telah berakhir. Semua jalan yang terlintas seperkian detik yang lalu, aku tak
bisa kembali pada nuansa—yang tadi ada. Ada masa ketika aku hendak kembali
pada-Nya. Ada kala aku ragu pada waktu yang terus mengejar tiba. Namun, ada
sebab dan ada akibat dari semua yang menjadi.
Soal menemanimu saat ini adalah akibat. Akibat dari adanya
sebab rasa yang meminta. Yang mungkin ini tak bisa dijawab untuk sekedar
menjawab semua tanya darimu seperti, “kenapa?”. Ini tentang rasa yang tak bisa
dijawab dengan kata. Ini tentang hati yang tidak cukup diwujudkan lewat bahasa.
Biar rasa ini selalu ada di hati, dan kamu tahu bahwa aku mau hidup samsara
bersamamu.
Katamu, “Aku terjebak dalam perangkap yang kamu buat,
sayang.”
Lalu
“Aku bukan gerilyawan yang siap menjebak dan membuatmu
terperangkap dalam pasung yang kubuat. Ini tentang perwujudan rasa yang harus
menjadi. Dan layaknya titian sungai, akhirnya muara itu ada pada dirimu.”
Gombal
Tertawa mungkin bisa melepas sejenak penat dalam sekap. Aku
tahu, bahwa tertawa “bahagia” seperti ini jarang bisa kita lakukan, sayang.
Hahaha...biar saja kita nikmati dulu barang sejenak ke-“bahagia”-an ini.
...
...
Kecupan lembutmu mengingatkan aku untuk kembali membumi. Ya,
kembali pada kenyataan yang sebelumnya aku terlalu mengawang-awang dalam
lamunan. Namun, adanya dirimu dalam dekapan membuat aku tahu bahwa ini hidup
yang ada saat ini. Ini nyata, bukan dunia rekaan semata. Ini belawan, bukan
sekaan yang menguap sebentar hilang. Sudahlah, aku terlalu melankoli dan sendu.
“Mari kita bersama”, Kataku sembari mengajaknya hidup nyata.
Akhirnya;
“Mari kita lewati hidup yang penuh samsara ini. Biarkan
sejenak yang lalu ada sebagai bagian dari alur hidup yang adakalanya dihinggapi
digresi. Namun, kita percaya bahwa sekarang saat ini yang ada adalah dua rasa
yang beradu—dalam sebuah traktat.”
Pagi di bulan Maret
2014