Rabu, 19 Agustus 2009

Melukis Hati

Keliru, jika kau katakan pagi ini mendung. Pagi hari ini cerah adanya. Yang mendung adalah rasa hatiku. Ya, hatiku sedang mendung. Merana karena dirimu. Ah… sesungguhnya bukan karena dirimu. Akan tetapi, karena diriku yang tidak bisa memberi apa yang menjadi harap.

Sungguh aku tak bisa.

“Jangan kau paksa aku untuk menulis cinta.”

“Tapi itu yang aku ingin saat ini.”

“Lalu harus bagaimana aku menuliskannya, Han?”

Hani memintaku untuk menulis. Ya, menulis tentang perasaanku kepadanya. Dia ingin mereka bahasa cintaku. Mungkin adanya ragu dalam hati, yang menjadi alasan tentang satu pinta itu. Aku tak bisa jika harus menulis cinta.

Sebentar tadi langit cerah. Ah… tak lama kemudian langit telah menjadi mendung kembali. Mendung di langit ini mungkin sebuah sasmita. Sebuah tanda yang meminta untuk segera bersiap akan datangnya hujan. Adakalanya hujan datang tepat saat aku tak menginginkannya. Mungkin juga, hujan bisa menjadi inspirasiku untuk menulis cinta. Ah…hujan datang jua. Tapi tetap aku tak bisa menuliskannya.

“Ren, aku kecewa. Aku tahu kamu selalu romantis dengan kata terhadap orang lain. Lalu, kenapa tidak denganku? Aku hanya ingin kamu bisa menuliskanku cinta!”

Hani kembali meminta apa yang menjadi harap.

Baiklah, Hani. Aku lukiskan tentang perasaan, bukan menulis tentang cinta. Akan tetapi, Melukis hati. Seperti ini kiranya:

“Rasa di hati tak bisa aku ceritakan kepadamu. Tentu ada kalanya aplikasi perasaan tak harus tervisualisasikan dalam nuansa kata. Akan tetapi, makna selalu ada sebagai representasi hati. Jangan kau pinta aku untuk menuliskannya. Karena, pada dasarnya bahasa manusia (kata) tak akan cukup untuk menuliskannya. Cukup akan aku lukiskan perasaan hatiku saja. Lalu dirimu akan bertanya. Seperti apa? Mula-mula aku akan katakan lewat bahasa, lalu akan aku representasikan dengan laku, akhirnya aku harap kau bisa melihat dan merasakan betapa indahnya hatiku. Ya, indahnya rasa hatiku yang aku lukiskan bersama dengan rasa cinta yang ada untuk dirimu.

“Mungkin hanya hujan yang dapat memudarkan warnanya. Jadi simpan baik-baik lukisan hatiku ini. Kelak ini akan menjadi sebuah penawar rasa rindu yang sangat kepadaku. Lalu dirimu akan bertanya, kenapa? Ah…sayang, lagi-lagi aku ingatkan jangan tanya kenapa. Ya, aku akan menyesalinya.

“Lukisan hati ini sebagai karya terakhirku untuk dirimu. Menyakitkan bukan? Memang harusnya dirimu tahu sebelumnya. Harusnya jua dirimu tahu akan indahnya hatiku, akan pula kagum dengan rasa yang kuberi, tulus dalam sebuah janji hati. Aku menyesal akan dirimu. Akan pintamu tentang menulis cinta. Jujur aku bukan tukang obral kata cinta, aku adalah aku yang jujur mencintaimu dengan sepenuh hati. Maka dari itu, aku lukiskan hatiku. Semoga dirimu mengerti. Aku bingkai sebagai kenangan.”

Langit kembali cerah karena hujan telah reda. Ah…keliru jika kau katakan langit ini cerah, yang benar hatiku yang cerah kembali. Seiring hujan berhenti sebagai awal sang matari mulai muncul seperti fajar pagi duniaku dalam lukisan hati.

“Selamat tinggal cinta, aku bawa lukisan hatiku untukmu…”

4 komentar:

Scatching Randomness mengatakan...

andalusia likes this posting ^_^
tulisan ini memang dirimu sekali kawan...

kalo boleh aku beri saran, setiap postinganmu kamu beri kategori dong, mana yg cerpen, mana puisi, mana esai, atau sekedar curahan hati. Coba deh liat di dashboard bloggernya :D

iDaites mengatakan...

Cm Neng yg paling ngerti aku.^_^
Pengennya gitu tapi kumaha caranya?hehehe
Beritahu aku....

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Lukisan hati yang jujur, sobat,,,so nice