Jumat, 30 Desember 2011

Peran Bahasa dalam Sebuah Peperangan: Kaitan Lintas Jaman dalam Penggunaan huruf Braille dan Navajo code


















Sebuah peperangan selalu memunculkan cerita yang menarik untuk dibahas dalam sebuah wacana tentang sejarah terjadinya dan penemuan-penemuan muktahir yang menyertainya. Selama ini kita lebih dikenalkan kepada kemajuan teknologi persenjataan dalam setiap perang yang terjadi. Lalu sebagai contoh kita dikenalkan dengan jenis senjata mulai dari AK-47, Revolver, Teknologi Bom Atom, dan lainnya.

Berbagai penemuan teknologi tersebut merupakan bagian dari perang yang terjadi disudut yang lain—selain untuk mendominasi dunia—sebagai perang para ilmuan dari setiap negara yang saling berlawanan. Seperti pada penciptaan teknologi bom atom, Jerman memiliki tekniknya dengan sumber daya manusia yang menciptakan teknologi tersebut, namun celakanya sumber daya inti (uranium) tidak dimilikinya. Sementara Amerika memiliki sumber daya alam berkaitan dengan uranium tersebut, namun teknologinya (SDM) belum mencapai taraf seperti yang Jerman miliki. Perang terjadi dalam berbagai bidang, dengan memaksimalkan segala potensi yang ada untuk saling mengalahkan satu sama lainnya.

Namun, di sisi yang lain peran bahasa, yang digunakan oleh peretas kode perintah dalam sebuah peperangan luput dari perhatian kita. Dalam konteks seperti ini saya berusaha mengungkapkan perihal tersebut yang berpusat pada kepentingan pragmatis huruf Braille oleh tentara Prancis saat perang, dan penggunaan Bahasa suku Navajo yang digunakan tentara Amerika ketika perang dunia II.

Alasan yang muncul dari pemilihan dua peristiwa yang terpaut jauh waktu terjadinya itu adalah pada perkembangan teknologi yang melatarbelakanginya, terutama dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa tulis dan lisan. Huruf Braille dengan media teks tulis tentunya mempertimbangkan bahan dan jenis huruf dalam setiap wacana yang tertuang dalam teks tersebut. Sandi Navajo sebagai sandi perang lebih menarik lagi, karena Sandi tersebut ada dalam bahasa lisan yang merupakan bahasa suku Indian. Menariknya penggunaan bahasa Navajo sebagai sandi rahasia merupakan cara muktahir—pada saat perang dunia II—yang dilakukan oleh tentara Amerika dengan memanfaat suku Indian.

Rentang waktu yang jauh tersebut membuat penggunaan huruf Braille tercatat sebagai bagian dari sejarah sandi perang yang pertama kali digunakan. Amerika dengan segala pengembangan teknologi yang dilakukannya tidak mampu bertahan lama dengan segala keunggulannya, cara konvensional yang akhirnya dilakukan adalah dengan menggunakan bahasa suku Indian Navajo tersebut. Tampaknya Amerika belajar dari penggunaan praktis huruf Braille yang jauh hari digunakan tentara Prancis abad 19.

Huruf Braille adalah sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh orang buta. Sistem ini diciptakan oleh seorang Perancis yang bernama Louis Braille yang buta disebabkan kebutaan waktu kecil. Ketika berusia 15 tahun, Braille membuat suatu tulisan tentara untuk memudahkan tentara untuk membaca ketika gelap. Tulisan ini dinamakan huruf Braille. Namun ketika itu Braille tidak mempunyai huruf W.

Munculnya inspirasi untuk menciptakan huruf-huruf yang dapat dibaca oleh orang buta berawal dari seorang bekas perwira artileri Napoleon, Kapten Charles Barbier. Barbier menggunakan sandi berupa garis-garis dan titik-titik timbul untuk memberikan pesan ataupun perintah kepada serdadunya dalam kondisi gelap malam. Pesan tersebut dibaca dengan cara meraba rangkaian kombinasi garis dan titik yang tersusun menjadi sebuah kalimat. Sistem demikian kemudian dikenal dengan sebutan night writing atau tulisan malam.

Demi menyesuaikan kebutuhan para tunanetra, Louis Braille mengadakan uji coba garis dan titik timbul Barbier kepada beberapa kawan tunanetra. Pada kenyataannya, jari-jari tangan mereka lebih peka terhadap titik dibandingkan garis sehingga pada akhirnya huruf-huruf Braille hanya menggunakan kombinasi antara titik dan ruang kosong atau spasi. Sistem tulisan Braille pertama kali digunakan di L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles, Paris, dalam rangka mengajar siswa-siswa tunanetra.

Kontroversi mengenai kegunaan huruf Braille di Perancis sempat muncul hingga berujung pada pemecatan Dr. Pignier sebagai kepala lembaga dan larangan penggunaan tulisan Braille di tempat Louis mengajar. Karena sistem baca dan penulisan yang tidak lazim, sulit untuk meyakinkan masyarakat mengenai kegunaan dari huruf Braille bagi kaum tunanetra. Salah satu penentang tulisan Braille adalah Dr. Dufau, asisten direktur L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles. Dufau kemudian diangkat menjadi kepala lembaga yang baru. Untuk memperkuat gerakan anti-Braille, semua buku dan transkrip yang ditulis dalam huruf Braille dibakar dan disita. Namun dikarenakan perkembangan murid-murid tunanetra yang begitu cepat sebagai bukti dari kegunaan huruf Braille, menjelang tahun 1847 sistem tulisan tersebut diperbolehkan kembali.

Pada tahun 1851 tulisan Braille diajukan pada pemerintah negara Perancis agar diakui secara sah oleh pemerintah. Sejak saat itu penggunaan huruf Braille mulai berkembang luas hingga mencapai negara-negara lain. Pada akhir abad ke-19 sistem tulisan ini diakui secara universal dan diberi nama ‘tulisan Braille’. Di tahun 1956, Dewan Dunia untuk Kesejahteraan Tunanetra (The World Council for the Welfare of the Blind) menjadikan bekas rumah Louis Braille sebagai museum. Kediaman tersebut terletak di Coupvray, 40 km sebelah timur Paris.

Sistem tulisan Braille mencapai taraf kesempurnaan di tahun 1834. Huruf-huruf Braille menggunakan kerangka penulisan seperti kartu domino. Satuan dasar dari sistem tulisan ini disebut sel Braille, di mana tiap sel terdiri dari enam titik timbul; tiga baris dengan dua titik. Keenam titik tersebut dapat disusun sedemikian rupa hingga menciptakan 64 macam kombinasi. Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan dan dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol matematika dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang umum digunakan adalah dengan tinggi sepanjang 0.5 mm, serta spasi horizontal dan vertikal antar titik dalam sel sebesar 2.5 mm.

Berdasarkan perkembangan penggunaan huruf Braille di atas tentunya menjadi suatu hal yang positif, dari awal kegunaannya sebagai sandi perang berubah menjadi alat bantu baca bagi penyandang cacat mata. Kapten Charles Barbier, pada awalnya mungkin tidak menyangka bahwa penemuannya akan berdampak positif bagi kepentingan manusia setelah sebelumnya dijadikan alat penunjang perang untuk membunuh manusia lainnya.

Jika penggunaan huruf Braille lebih tepat dikatakan sebagai bagian positif dari sebagian penunjang perang, lain halnya dengan penggunaan bahasa Navajo yang digunakan oleh tentara Amerika dalam perang Asia-Pasific melawan Jepang. Amerika memanfaatkan suku Indian sebagai bagian dari usahanya untuk menghegemoni dunia melalui penggunaan bahasa navajo sebagai sandi perang.

Ide awal penggunaan bahasa Navajo ini berasal dari Philip Johnston, seorang peneliti bahasa Navajo yang telah melakukan penelitian terhadap bahasa suku Indian sejak lama. Gagasan penggunaan bahasa ini berawal dari pertemuannya dengan seorang veteran tentara Amerika pada perang dunia pertama. Bahwa penggunaan bahasa Inggris (American) dalam peretas sandi perang sudah dapat terpecahkan oleh musuh. Oleh karena itu harus ada cara lain untuk menjaga kerahasiaan sandi perintah tersebut.

Johnston sebagai seorang doktor ilmu bahasa merupakan lulusan Universitas Sorbone, Prancis. Dengan keahliannya dibidang bahasa bantu, ia meneliti bahasa-bahasa suku Indian di kawasan Amerika Utara. Termasuk dalam hal ini ia fokus meneliti bahasa suku Navajo, yang menurutnya memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan dialek bahasa suku Indian lainnya. Bahasa Navajo diteliti karena menurut Johnston, bahasa Navajo merupakan bahasa yang memiliki kompleksitas yang ekstrem dari segi struktur kalimat (sintaksis) dan pengaruh bahasa tonal yang memiliki kerumitan tersendiri. Ia banyak terpacu dengan sejarah terciptanya bahasa/ Huruf Braille yang dipelajarinya ketika kuliah dulu di Sorbone, Prancis.

Bahasa Navajo atau bahasa Navaho (Diné bizaad) adalah sebuah bahasa pribumi di Amerika bagian utara dan tepatnya di sebelah barat daya Amerika Serikat. Bahasa ini terutama dipertuturkan oleh suku bangsa Navajo dan jumlah penutur bahasa ini kurang lebih adalah 175.000 jiwa. Bahasa Navajo termasuk rumpun bahasa Na-Dene. bahasa Navajo adalah bahasa yang dipakai sebagai sandi yang tak terpecahkan di perang dunia kedua

Penggunaan bahasa Navajo ini mulai dikenalkan dalam dunia militer ketika Johnston pada tahun 1942 bertemu Major General Clayton B. Vogel, komandan umum korps marinir untuk kawasan pacific. Perang di kawasan Asia Pasific merupakan perang yang sangat berat bagi Amerika terutama dalam kaitannya untuk membendung dominasi Jepang. Amerika setelah menundukka Iwo Jima mengalami kesulitan untuk bergerak melumpuhkan Jepang ke kawasan yang lebih sentral. Oleh karena itu, banyak upaya dilakukan tentunya penggunaan Navajo code talker ini bagian dari upaya tersebut.

Johnston mengkondisikan bahasa Navajo tersebut dengan istilah sandi militer, hingga akhirnya bahasa tersebut dapat diterapkan dengan kebutuhan sandi pada situasi peperangan. Sebagai bagian jangka pangjang, kerjasama Johnston dengan Vogel tidak berhenti sampai pematangan media bahasa Navajo dalam teknis sandi perang. Lebih lanjut Johnston dan Vogel merancang untuk melatih suku Indian Navajo untuk kepentingan keberhasilan Navajo code tersebut. Hal tersebut dilakukan oleh divisi 4 marinir Amerika yang merekrut 200 orang suku Navajo untuk dijadikan tentara. Dengan tugas khusus sebagai peretas kode Navajo tersebut.

Misi divisi Navajo untuk sebagian besar mencapai puncak keberhasilan ketika difungsikan pada perang Asia Pasific melawan Jepang. Sandi Navajo menjadi sandi rahasia yang sulit diretas oleh pihak Jepang sebagai lawan. Dengan sadar akhirnya, Jepang serta merta membidik para Navajo Army tersebut sebagai target utama pengendalian perang. Setidaknya keberhasilan Navajo Code tersebut merupakan salah satu bagian cerita—sukses—sebuah teknologi perang. Namun, secara sederhana lalu kita mulai berpikir bahwa teknologi tidak menjamin keberlangsungan (baca: keberhasilan) sebuah misi perang. Sejarah telah membuktikan—pemanfaatan—cara konvensional dapat menjadi bagian dari solusi (walaupun dalam konteks perang tetap salah).

Konon menjelang meninggalnya, Philip Johnston menyempatkan diri untuk kembali ke Sorbone tempat ia dahulu menempa ilmu. Setelah itu diceritakan ia meninggal, dengan meninggalkan cerita tentang ketakutannya akan kesalahan yang ia lakukan dengan memanfaatkan suku Indian. Salah satu bagian ini ada yang menganggap kematiannya misterius karena ada nuansa mistis yang melatarbelakanginya.

Louis Braille dan Kapten Charles Barbier, mungkin bisa tertawa melihat dampak positif dari penemuannya. Bagi Johnston?

Tidak ada komentar: