Dari caramu melipat payung itu aku belajar. Bagaimana mungkin
sesuatu yang lain harus sama dalam bentuk laku sederhana. Ya, sederhana.
“Hal yang seperti ini mah
sederhana atuh…” Begitu katamu sembari
jari lentikmu tetap menggerayangi sisian payung itu. Lalu bagaimana kamu bisa tahu,
padahal aku tercengang melihat apa yang kamu lakukan. Setiap bentuk yang katamu
sederhana tersebut seolah membuka kembali kenangan. Ya, bagaimana bisa kamu tahu,
bahkan sedikitpun kamu tidak melihatku yang mulai meraba dengan banyak tanda
yang—bingung—ada.
“Sudah selesai, sederhana bukan?” Seperti yang sejauh ini aku
kenal, kamu tersenyum simpul mengguratkan suka. Senyumanmu membuatku sadar pada
kenyataan, bahwa bukan dia yang hadir dalam setiap laku, ucap, dan senyum sederhanamu.
Masih dalam ingatanku bagaimana pertemuan kita yang dulu tampak
tak sengaja. Kamu bergerak memendar pergi dengan rupa dingin yang secara nyata menjadi
citramu. Padahal aku mengerti—saat ini—ketika alasan hadir sebagai jawaban dari
rasa sungkan yang dulu ada sebagai bentuk tanya. Lalu, bukankah sederhana apa
yang menjadi jawabitu? Sesederhana seperti yang kamu ucap saat melipat setiap bagian
payung itu.
Jelas, saat ini aku sedang mengingat kembali ketika dengan sederhana
kamu ada di depanku. Sambil tersenyum mengucapkan kata “sederhana”, aku mengingatmu
pada payung yang saat ini ada pada genggamanku.
: tulisan sederhana, kawan (I. nanapu).