“Hidupilah
Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah...”
Kata
Muhammadiyah di atas menunjukkan sebuah nomina (kata benda), yang berarti kita
memaknainya dengan merujuk bahwa Muhammadiyah itu sebagai organisasi. Oleh
karena itu, jelas dalam pola kalimat di atas rujukannya untuk orang/seseorang
yang mengabdikan dirinya pada organisasi tersebut. Maka jika diartikan secara
sederhana, makna yang bisa didapat setelah menafsirkan kalimat di atas adalah:
jangan mencari (mengharapkan) sesuatu dari Muhammadiyah, tapi perbuatlah
sesuatu untuk Muhammadiyah.
Kalimat
di atas seolah menjadi jargon (jika
boleh dikatakan seperti itu) yang menjadi pesan moral kepada setiap orang yang
mau mengabdikan dirinya pada organisasi tersebut. Sebagai sebuah organisasi
yang telah mapan, Muhammadiyah menunjukkan eksistensinya dalam konteks
sumbangan organisasi masyarakat bagi negara/bangsa pada khususnya. Fokus amal
(sumbangsih) yang dikedepankan oleh Muhammadiyah adalah dalam segi pendidikan.
Hal tersebut terbukti (konsisten) dengan banyak dan berkembangnya
sekolah-sekolah, maupun perguruan tinggi yang tersebar dihampir seluruh
Indonesia. Termasuk dalam hal ini tentunya Universitas Muhammadiyah Sukabumi
(UMMI) sebagai bagian dari amal usaha tersebut.
Muhammadiyah
yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman Yogyakarta,
memiliki empat fokus utama yang menjadi pedomannya. Fokus tersebut terletak
pada penghilangan bentuk perilaku Musyrik, Bidah, Khurofat, dan Takhayul.
Keempat perilaku (salah) tersebut menjadi penanda jaman saat itu, ketika agama
Islam yang masuk ke Nusantara telah berasimilasi dengan kepercayaan/kultur
budaya yang sebelumnya ada. Konsep tersebut tentunya didorong oleh situasi dan
kondisi yang menyertainya. Empat hal tersebut menjadi penghalang dalam mencapai
tujuan utama Muhammadiyah didirikan sebagai bagian dari upaya meluruskan
kembali arus keimanan dalam beragama Islam. Semata-mata aspek tersebut
merupakan landasan dalam mencapai masyarakat yang lurus, konsisten, dan benar
dalam menggunakan Al Quran dan Hadist sebagai acuan dalam menjalankan hidup di
dunia ini.
Muhammadiyah
menjadi pusat muslim saleh yang progresif dengan gerakan yang cenderung
modernis dan reformis. Disebut reformis karena sebagaimana yang tersirat dari
namanya, Muhammadiyah (pengikut Nabi Muhammad), lebih menekankan pemahaman dan
pendalaman (ijtihad) atas kitab suci Al Quran dan mendorong kepercayaan kembali
kepada kebentuk suci seperti yang diajarkan dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad
Saw dan keempat khalifah sesudahnya.
Sementara
itu disebut modernis karena Muhammadiyah mempropagandakan ajaran Islam “secara
jaman sekarang”. Sekolah-sekolah Muhammadiyah didirikan pada 1912 di Kauman,
kemudian sepanjang tahun 1910-an beberapa sekolah didirikan didaerah lainnya.
Semuanya meniru sekolah bumiputra pemerintah yang mengajarkan pelajaran agama
Islam maupun sekuler.
Muhammadiyah
bergerak seiring perkembangan jamannya, maka berdasarkan alu perkembangan
tersebut hoofbestuur Muhammadiyah (seperti yang terdapat pada buku “Dasar-dasar Gerakan Muhammadiyah”)
menjejakkan dan mengokohkan dengan; Memperdalam masuknya Iman, memperluas paham
agama, memperhalus budi pekerti, menuntun amalan Intiqad, menguatkan persatuan,
menegakkan keadilan, melakukan kebijaksanaan, menguatkan Majlis Tanwir,
mengadakan koferensi bagian, memusyawarahkan putusan, mengawaskan gerakan
dalam, menyambungkan gerakan luar.
Keimanan
merupakan aspek utama yang dikedepankan dalam rangka beragama. Termasuk dalam
ruh organisasinya, Muhammadiyah selalu mengedepankan pendalaman ihwal iman
tersebut. Tafsir langkah Muhammadiyah setelah memperdalam keimanan tersebut
diwujudkan dalam langkah memperluas pemahaman agama. Untuk hal ini perlu saya
ketengahkan bahwa dalam konteks tafsir langkah tersebut ada tentunya
“kebersamaan” dalam satu visi memajukan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi.
“Bagaimana
jika (aku) bukan Muhammadiyah?” pertanyaan yang mendasar dengan
mempertimbangkan pula kata Muhammadiyah tersebut yang merujuk pada sebuah
perkumpulan/organisasi masyarakat. Tentunya ini terkait dengan pemahaman dalam
konteks perluasan paham agama, yang jika kita kembali mengingat bahwa agama
Islam tidak mengikat paham. Namun perluasan paham dalam agama itu harus dengan
syarat dan bahan-bahan yang telah ditetapkan dalam agama. Sekali-kali tidak
boleh seseorang memahami agama menurut hawa nafsu atau kehendak hati sendiri.
Dengan
demikian, pertimbangan di atas dapat menjadi rujukan dalam merumuskan jawaban
akan pertanyaan yang muncul tersebut. Tentunya perluasan paham dalam beragama
tersebut perlu menjadi letak dasar dalam mengembangkan Muhammadiyah dalam era
kontemporer yang ada sebagai kemajuan jaman. Sejarah telah mengajarkan
bagaimana kita harus lebih arif dalam bertindak, dan menjadikannya contoh yang
nyata dalam merangkai masa depan yang lebih baik.
Saya
yakin Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) didirikan berdasarkan ruh yang
tertambat dalam kerangka langkah gerakan Muhammadiyah tersebut. Perlu sebuah
kontemplasi diri dari masing-masing bagian untuk merujuk kembali pada amanat
yang tertuang dalam langkah hoofbestuur sebagai
refleksi terhadap apa yang menjadi cita-cita mulia, seperti juga yang tertuang
dalam pembukaan Undang-undang Dasar kita yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Dengan kader ataupun bukan cita-cita tersebut harus menjadi titik tolak untuk
sebuah kemajuan.
Amalan
Intiqad menjadi suatu solusi dalam rangka mencapai cita-cita tersebut, yang
tentu dapat mendatangkan kebaikan dan kesempurnaan. Setiap anggota Muhammadiyah
ataupun bukan (belum) Muhammadiyah wajib mengamalkan amalan intiqad ini,
sebagai upaya dalam mencapai amar ma’ruf dan nahi munkar. Dalam konteks
kebersamaan tentunya ikhtiar yang paling baik yaitu dengan saling mengingatkan
akan yang baik dan apa yang buruk demi mencapai keselamatan bersama.
Kutipan ayat di atas
merupakan penutup esai ini, yang tentunya pula sebagai refleksi untuk kita
dalam memaknai sebuah perbedaan dalam bingkai kebersamaan. Tentunya dengan
tujuan untuk semakin mengamalkan amal inti dari setiap gerakan Muhammadiyah
secara khususnya.
Sekedar bacaan
Shiraishi, T. (1997). An Age in Motion: Popular
Radicalism in Java 1912-1926 (H. Farid, Trans.). Jakarta: Grafiti.
Tim Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah Jabar. 2009. Dasar-dasar
Gerakan Muhammadiyah. Bandung: PWM Jabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar