Jika kita akhirnya bertemu, mungkinkah romansa akan
terjadi? Ah, bukan pastinya. Lalu katamu, “...mungkin takdir?”, bagaimana
mungkin takdir sedangkan tuhan saja tidak kupercayai.
Udara panas ini semakin mendera. Entah kenapa saat
ini yang ada hanya gelisah ketika sepucuk surat tetiba datang. Surat ini
meminta balas yang bukan dengan kata tapi hati. Ini membuatku lega sekaligus
luka. Hatiku beku, padahal saat ini panas. Namun ketika kamu katakan, “...ini
aku, raihlah mimpimu”. Bisa apa aku coba? (dulu) dalam gelisah aku menunggu.
Ya. Tapi itu dulu! Sial kenapa aku terus mengingatmu.
Jika kita akhirnya bertemu, mungkinkah romansa akan
terjadi? Ah, bukan kamu yang aku takuti namun kenangan. Katamu, “...alasanku
aku di sini adalah kamu. Bagaimana mungkin bekas luka ini bisa hilang?
Sedangkan patah tulang bisa hilang walau sedikit. Tapi luka hati bagaimana
mungkin bisa hilang. Aku bisa membasuh lukamu dengan air mata ini.”
Sesaat resahku menepi. Rasa gundah sejenak beranjak
dari lamunan tentangmu. Caramu mengartikan rasa (kita) terasa laksana manis
mengucapkan makna.
...jalanku untuk pulang ada padamu. Andai ini bisa
semulus harapanku. Ah, aku tak boleh mengingkari kenyataan yang sudah terjadi.
Mendadak hatiku terasa ringkih, terjebak diantara rasa yang tak seharusnya
kucipta.
Aku putuskan untuk membalas suratnya:
Mungkin lelah yang membuatku tidak sadar akan
hadirmu. Setidaknya hadirmu, meski dalam ingatan (sebenarnya) sudah membuatku senang.
Aku tahu, hanya kamu yang sepenuhnya tahu segala yang jadi inginku. Kamu juga
yang paham bagaimana menerjemahkan rasa. Terasa kini hadirmu—dalam sepucuk
surat ini—dapat menuai rinduku. Rindu yang sejauh ini aku pupuk dalam luka.
Sebenarnya, aku tak mau membicarakan luka. Tapi mengingatmu adalah luka.
Sedangkan hadirmu adalah dahaga akan nuansa rindu. Ajakanmu, membuatku luluh
lagi. Kamu tahu kalau setiaku sudah teruji, tanpa harus kamu pinta. Hatimu
beku. Mungkin lelah yang membuatmu tidak sadar akan hadirnya diriku. Hatimu
beku. Padahal aku sedang pertahankan hati untuk tidak mengenangmu.
Keraguan itu muncul kembali. Karena datangnya sebuah
gundah yang membuat hati selalu saja merasa tak nyaman. Awalnya aku melihatnya
sebagai sosok yang baru. Ya, aku memang rindu akan nuansa yang ada. Aku awali
semua ini dengan sebuah keraguan;
“Harus darimana aku memulainya?”
Jawaban itu masih ada dibenakku. Air mata yang jatuh
tak akan mengubah semua kenangan menjadi ada sebagai sebuah realita. Aku
menjadi muak dengan semua ini. Aku sungguh merasa sakit dengan nuansa ini. ah,
anjing. Aku ingin keluar dari malapetaka ini. aku..aku..aku mungking sudah
gila.
Benar aku rasakan hangatnya genggaman tanganmu. Tak
salah pula jika aku merasa nyaman jika berdua denganmu. Inikah sungguh perasaan
terpendam itu? Aku selingkuh dalam bayangan tentangnya.
Entah mengapa aku sangat menikmati pertemuan. Aku
pandangi setiap senyuman yang memancar manis dari wajahmu. Aku rasakan pula
indah setiap pandangan dalam nuansa indah tentangmu. Ah, mungkin aku rindu
dengan nuansa cinta seperti ini. Ya, sayang. Mungkin aku memang benar-benar
rindu padamu.
Aku pandangi lagi paras wajahnya. Dia cantik hari
ini, dan sungguh aku memujinya. Setiap perjalanan waktu aku sadari bahwa memang
inilah rasa yang tertinggal dalam sebuah pinta. Dan aku pun merasa suka akan
keberadaan dirimu di sisiku. Namun masih sempat aku berpikir;
“Aku selingkuh. Atau memang inikah cinta?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar