Selasa, 25 Maret 2014

Tatal Perona

Dalam temaram lampu malam, aku mengingat (lagi) semua yang telah berakhir. Semua jalan yang terlintas seperkian detik yang lalu, aku tak bisa kembali pada nuansa—yang tadi ada. Ada masa ketika aku hendak kembali pada-Nya. Ada kala aku ragu pada waktu yang terus mengejar tiba. Namun, ada sebab dan ada akibat dari semua yang menjadi.
Soal menemanimu saat ini adalah akibat. Akibat dari adanya sebab rasa yang meminta. Yang mungkin ini tak bisa dijawab untuk sekedar menjawab semua tanya darimu seperti, “kenapa?”. Ini tentang rasa yang tak bisa dijawab dengan kata. Ini tentang hati yang tidak cukup diwujudkan lewat bahasa. Biar rasa ini selalu ada di hati, dan kamu tahu bahwa aku mau hidup samsara bersamamu.
Katamu, “Aku terjebak dalam perangkap yang kamu buat, sayang.”
Lalu
“Aku bukan gerilyawan yang siap menjebak dan membuatmu terperangkap dalam pasung yang kubuat. Ini tentang perwujudan rasa yang harus menjadi. Dan layaknya titian sungai, akhirnya muara itu ada pada dirimu.”
Gombal
Tertawa mungkin bisa melepas sejenak penat dalam sekap. Aku tahu, bahwa tertawa “bahagia” seperti ini jarang bisa kita lakukan, sayang. Hahaha...biar saja kita nikmati dulu barang sejenak ke-“bahagia”-an ini.
...
...
Kecupan lembutmu mengingatkan aku untuk kembali membumi. Ya, kembali pada kenyataan yang sebelumnya aku terlalu mengawang-awang dalam lamunan. Namun, adanya dirimu dalam dekapan membuat aku tahu bahwa ini hidup yang ada saat ini. Ini nyata, bukan dunia rekaan semata. Ini belawan, bukan sekaan yang menguap sebentar hilang. Sudahlah, aku terlalu melankoli dan sendu. “Mari kita bersama”, Kataku sembari mengajaknya hidup nyata.
Akhirnya;
“Mari kita lewati hidup yang penuh samsara ini. Biarkan sejenak yang lalu ada sebagai bagian dari alur hidup yang adakalanya dihinggapi digresi. Namun, kita percaya bahwa sekarang saat ini yang ada adalah dua rasa yang beradu—dalam sebuah traktat.”


Pagi di bulan Maret 2014

Senin, 15 Juli 2013

Adam Nahari Sastraguna

Anak adalah anugrah terbesar untuk saya dan istri saat ini. Adam Nahari Sastraguna, yang secara etimologis dapat diartikan; Adam sebagai lelaki, Nahari (bahasa Arab) berarti Pengorbanan, Sastra (dari bahasa urdu Shastra) berarti baik, Guna yang dimaknai sebagai berguna. Adam Nahari Sastraguna, saya maknai sebagai lelaki baik dan berguna yang siap berkorban untuk agama, orang tua, dan bangsa. Amin.
Kelak, ketika dewasa nanti harapan kami semua makna yang tertera pada namanya akan menjadi nyata. amin.










Selasa, 18 Juni 2013

Geletar Rindu

Sepenggal rindu menyelinap dalam hening pagi
yang belum sempat aku tawarkan pada tegukan kopi pertama
kala embum masih menepi
lalu hanya tercipta sembulan asap dari aroma yang ada

Sepenggal rindu teramat menyayak dalam kelu hati
yang belum sempat terobati dalam duka
akan kenangan semalam yang belum beranjak pergi
lalu hanya kamu yang bisa membuat aku ragu

Sepenggal rindu yang ada hanya nuansa akan rupa
Sepenggal rindu yang ada hanya kamu yang ingin ku raba
Sepenggal rindu padamu, hanya sekilas segumpal selaksa hendak bermuara.
dan inilah sepenggal rindu yang hanya bisa kurawikan dalam kata

Cikembar, Juni 2013

Jumat, 08 Maret 2013

Sebatas Cerita

Sambil terus kupandangi pembatas buku itu...
“Kamu tentu tidak tahu betapa besar fungi pembatas buku itu?”
Pertanyaan tentang arti sekedar pembatas buku itu muncul, lalu entah mengapa selalu saja begitu mudah terlupa kembali ketika ada tanya lain mulai meminta jawab. Begitu selalu nuansa ada ketika aku mulai mengingat kembali tentang ragu yang menyelinap dalam sedikit tanya. Padahal saat ini aku sedang memegang pembatas buku ini, yang katamu:
“Ini dariku sebuah arti kecil yang paling mengerti apa yang ingin kamu batasi...”
Sambil terus kupandangi pembatas buku ini.
Kamu hadir lagi dalam sebatas ingatan yang aku lihat dari pemberian sekecil ini. Lalu, ada nuansa rindu (lagi) ketika sebatas ingin merasuki setiap buai mata terhadap barang yang masih tertingggal dan dapat kugapai. Setelah merasa cukup dengan setiap pesan alamiah melalui sasmita, aku coba merenungkan kembali berartinya dirimu bagiku. Namun, saat ini yang ada tanya. Mengapa hanya sebatas ini?
Sambil terus kupandangi pembatas buku ini.
Bisikanmu membuat aku terperanjat.
“Ssst...biar aku batasi semua lamunanmu.”
Bukan hanya kembali membumi, bisikannya lebih dari sekadar mengingatkan kembali aku jalan pulang ke dunia nyata, setelah sebelumnya terlalu lama mengawang-ngawang dalam ingatan tentang masa lalu. Bau nafasnya, desahannya, dan yang paling menyadarkanku yaitu kecupannya, membuat kembali ada batasan yang jelas antara ingatan dengan kenyataan yang saat ini ada. Aku balas kecupannya sambil berkata:
“Tapi ada yang gak bisa kamu batasi.”
“Apa?”
Aku batasi keingintahuannya dengan sekali lagi memberi kecupan. Padahal dalam pelukannya aku masih memegang pembatas buku ini. Pada malam yang membatasi seperti ini, pelukan menjadi solusi untuk terjaga dari setiap tanya tentang batasan-batasan yang nyata antara setiap kenangan dengan kenyataan yang ada. Padahal:
Aku masih pandangi pembatas buku ini, walaupun saat ini ada dalam pelukan dirinya.

Jumat, 23 November 2012

CERITA PAGI


Di setiap pagi, kamu tahu apa yang paling aku rindu?
kecupanmu yang membuatku terjaga dari lelap.
Di setiap pagi, kamu tahu apa yang paling aku mau?
tawaran hangat darimu sembari memelukku.
"teh manis ya?" katamu.
Di setiap pagi, kamu tahu apa yang selalu aku ingat?
peringatan darimu untuk selalu menutup lemari.
karena, "kebiasaan deh suka gak ditutup lemarinya" katamu.
Setiap hari, kamu tahu apa yang selalu aku jaga?
Hati.
"Jaga hati ya, sayang" katamu.
dan selalu karenamu, aku jadi ingat setiap pagi bersamamu.


Bagaimana Jika (Aku) Bukan Muhammadiyah?



“Hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah...”

Kata Muhammadiyah di atas menunjukkan sebuah nomina (kata benda), yang berarti kita memaknainya dengan merujuk bahwa Muhammadiyah itu sebagai organisasi. Oleh karena itu, jelas dalam pola kalimat di atas rujukannya untuk orang/seseorang yang mengabdikan dirinya pada organisasi tersebut. Maka jika diartikan secara sederhana, makna yang bisa didapat setelah menafsirkan kalimat di atas adalah: jangan mencari (mengharapkan) sesuatu dari Muhammadiyah, tapi perbuatlah sesuatu untuk Muhammadiyah.
Kalimat di atas seolah menjadi  jargon (jika boleh dikatakan seperti itu) yang menjadi pesan moral kepada setiap orang yang mau mengabdikan dirinya pada organisasi tersebut. Sebagai sebuah organisasi yang telah mapan, Muhammadiyah menunjukkan eksistensinya dalam konteks sumbangan organisasi masyarakat bagi negara/bangsa pada khususnya. Fokus amal (sumbangsih) yang dikedepankan oleh Muhammadiyah adalah dalam segi pendidikan. Hal tersebut terbukti (konsisten) dengan banyak dan berkembangnya sekolah-sekolah, maupun perguruan tinggi yang tersebar dihampir seluruh Indonesia. Termasuk dalam hal ini tentunya Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) sebagai bagian dari amal usaha tersebut.
Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman Yogyakarta, memiliki empat fokus utama yang menjadi pedomannya. Fokus tersebut terletak pada penghilangan bentuk perilaku Musyrik, Bidah, Khurofat, dan Takhayul. Keempat perilaku (salah) tersebut menjadi penanda jaman saat itu, ketika agama Islam yang masuk ke Nusantara telah berasimilasi dengan kepercayaan/kultur budaya yang sebelumnya ada. Konsep tersebut tentunya didorong oleh situasi dan kondisi yang menyertainya. Empat hal tersebut menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama Muhammadiyah didirikan sebagai bagian dari upaya meluruskan kembali arus keimanan dalam beragama Islam. Semata-mata aspek tersebut merupakan landasan dalam mencapai masyarakat yang lurus, konsisten, dan benar dalam menggunakan Al Quran dan Hadist sebagai acuan dalam menjalankan hidup di dunia ini.
Muhammadiyah menjadi pusat muslim saleh yang progresif dengan gerakan yang cenderung modernis dan reformis. Disebut reformis karena sebagaimana yang tersirat dari namanya, Muhammadiyah (pengikut Nabi Muhammad), lebih menekankan pemahaman dan pendalaman (ijtihad) atas kitab suci Al Quran dan mendorong kepercayaan kembali kepada kebentuk suci seperti yang diajarkan dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw dan keempat khalifah sesudahnya.
Sementara itu disebut modernis karena Muhammadiyah mempropagandakan ajaran Islam “secara jaman sekarang”. Sekolah-sekolah Muhammadiyah didirikan pada 1912 di Kauman, kemudian sepanjang tahun 1910-an beberapa sekolah didirikan didaerah lainnya. Semuanya meniru sekolah bumiputra pemerintah yang mengajarkan pelajaran agama Islam maupun sekuler.
Muhammadiyah bergerak seiring perkembangan jamannya, maka berdasarkan alu perkembangan tersebut hoofbestuur Muhammadiyah (seperti yang terdapat pada buku  “Dasar-dasar Gerakan Muhammadiyah”) menjejakkan dan mengokohkan dengan; Memperdalam masuknya Iman, memperluas paham agama, memperhalus budi pekerti, menuntun amalan Intiqad, menguatkan persatuan, menegakkan keadilan, melakukan kebijaksanaan, menguatkan Majlis Tanwir, mengadakan koferensi bagian, memusyawarahkan putusan, mengawaskan gerakan dalam, menyambungkan gerakan luar.
Keimanan merupakan aspek utama yang dikedepankan dalam rangka beragama. Termasuk dalam ruh organisasinya, Muhammadiyah selalu mengedepankan pendalaman ihwal iman tersebut. Tafsir langkah Muhammadiyah setelah memperdalam keimanan tersebut diwujudkan dalam langkah memperluas pemahaman agama. Untuk hal ini perlu saya ketengahkan bahwa dalam konteks tafsir langkah tersebut ada tentunya “kebersamaan” dalam satu visi memajukan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi.
“Bagaimana jika (aku) bukan Muhammadiyah?” pertanyaan yang mendasar dengan mempertimbangkan pula kata Muhammadiyah tersebut yang merujuk pada sebuah perkumpulan/organisasi masyarakat. Tentunya ini terkait dengan pemahaman dalam konteks perluasan paham agama, yang jika kita kembali mengingat bahwa agama Islam tidak mengikat paham. Namun perluasan paham dalam agama itu harus dengan syarat dan bahan-bahan yang telah ditetapkan dalam agama. Sekali-kali tidak boleh seseorang memahami agama menurut hawa nafsu atau kehendak hati sendiri.
Dengan demikian, pertimbangan di atas dapat menjadi rujukan dalam merumuskan jawaban akan pertanyaan yang muncul tersebut. Tentunya perluasan paham dalam beragama tersebut perlu menjadi letak dasar dalam mengembangkan Muhammadiyah dalam era kontemporer yang ada sebagai kemajuan jaman. Sejarah telah mengajarkan bagaimana kita harus lebih arif dalam bertindak, dan menjadikannya contoh yang nyata dalam merangkai masa depan yang lebih baik.
Saya yakin Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) didirikan berdasarkan ruh yang tertambat dalam kerangka langkah gerakan Muhammadiyah tersebut. Perlu sebuah kontemplasi diri dari masing-masing bagian untuk merujuk kembali pada amanat yang tertuang dalam langkah hoofbestuur sebagai refleksi terhadap apa yang menjadi cita-cita mulia, seperti juga yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar kita yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan kader ataupun bukan cita-cita tersebut harus menjadi titik tolak untuk sebuah kemajuan.
Amalan Intiqad menjadi suatu solusi dalam rangka mencapai cita-cita tersebut, yang tentu dapat mendatangkan kebaikan dan kesempurnaan. Setiap anggota Muhammadiyah ataupun bukan (belum) Muhammadiyah wajib mengamalkan amalan intiqad ini, sebagai upaya dalam mencapai amar ma’ruf dan nahi munkar. Dalam konteks kebersamaan tentunya ikhtiar yang paling baik yaitu dengan saling mengingatkan akan yang baik dan apa yang buruk demi mencapai keselamatan bersama.


Kutipan ayat di atas merupakan penutup esai ini, yang tentunya pula sebagai refleksi untuk kita dalam memaknai sebuah perbedaan dalam bingkai kebersamaan. Tentunya dengan tujuan untuk semakin mengamalkan amal inti dari setiap gerakan Muhammadiyah secara khususnya.

Sekedar bacaan
Shiraishi, T. (1997). An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926 (H. Farid, Trans.). Jakarta: Grafiti.
Tim Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jabar. 2009. Dasar-dasar Gerakan Muhammadiyah. Bandung: PWM Jabar.

Rabu, 14 November 2012

Sekam

Aku ingin berbicara tentang kenangan,
Tapi, "untuk apa?" katamu.
Aku ingin mengenang,
Tapi, "mengapa?" katamu.
Aku ingin senang,
Tapi, "bukankah?" katamu.
berbicara denganmu sama seperti mendekam bara dalam kelambu.