Selasa, 08 April 2008

Dogsa

Simphoni pagi menemani indah hari ini. Gemericik hujan yang lembut syahdu mengiringi indah dan sejuknya pagi hari di nuansa surga yang baru. Hujan rintik tak menghalangi keindahan pagi ini. Langit pun cerah merona, tak ada mendung pekat sebagai hiasan pagiku. Udara lembut yang masuk melalui rongga hidung ini terasa nikmat. Ya, terasa nikmat sebagai berkah illahi. Aku ucap syukur akan hadir-Nya.
“Tuhan terimakasih atas kesempatan yang masih Kau beri.”

Indahnya pagi ini, sangat paradoks sekali dengan cerita tadi malam. Ya, malam tadi sangat mencekam. Entah mengapa hampir di setiap malamku, aku tak bisa merasakan tentram di jiwa. Aku terlena dengan suasana malam yang hitam, gelap, dan pekat. Nuansa kegelapan selalu aku rasakan sebagai ancaman. Malaikat maut seolah memanggil dan mengajak aku untuk kembali. Ya, kembali kepada-Nya. Aku rasakan takut yang sangat saat itu. Aku harus bergumul dengan rasa takut yang merongrong kesadaran jiwaku. Bukan kematian yang aku takuti, tetapi dosa yang terlalu melebihi segala sisi di dalam diri.
“Ah…tidak. Ini hanya mimpi! Ini hanya mimpi! Bangunkan aku! Bangunkan aku! Sentuh aku! Sadarkan aku ini hanya mimpi.”
“Ha…kematian bukan suatu hal yang menyakitkan. Kematian datang bukan untuk kita elak. Aku datang tentu tak bertuan, dan jikalau aku pergi, aku harus bersama tuan.”
“Ah…setan! Pergi jauh dari diriku. Oh…Tuhan tolong hambamu ini, aku terlalu lemah dengan serangan yang datang terlalu awal ini.”
Tentunya terlalu sakit rasa malamku ini. Aku berjuang dengan maut yang selalu memintaku untuk kembali.
Masih ada memoir yang belum aku tulis. Ya, setidaknya aku tak ingin jadi pengecut sebelum ajal menjemput. Akan aku tuliskan tentang semua dosa ini. Kelak, agar kalian tahu, aku memang tak pantas untuk di puja. Aku tak ingin kalian banggakan diriku sebagai pribadi. Aku adalah orang yang telah hina, karena telah membuang prinsip demi sebuah kebutuhan yang meminta.
Akan aku selesaikan bab terakhir dari perjalanan hidupku. Seperti ini kiranya:
“…barangkali kalian selama ini melihat aku sebagai suami,ayah dan pejabat yang kuat, kukuh, dan sukses. Ya, semoga kalian akan menilai aku tetap seperti itu. Seorang suami dan ayah yang mencintai, seorang pejabat terpercaya. Tetapi aku akan tidak jujur terhadap kalian, bila pada suatu kali aku sudah tiada, kalian akan kehilangan prinsip-prinsip yang mulia karena sandiwaraku.
“Itu tidak boleh. Maka aku putuskan membikin tulisan ini, agar kalian tahu, istriku, agar kalian lebih mengenal lebih baik siapa sesungguhnya aku ini. Dia sama sekali tidak sebaik penilaian kalian, mungkin juga kebalikannya secara total. Dan kalian anak-anakku, jangan sampai mencontoh ayahmu, seorang budak penghidupan yang kehilangan prinsip.
“Jangan contoh aku. Anggaplah ayahmu sebagai pribadi yang kalah, budak. Jadilah orang-orang yang berhati murni, berprinsip, berpribadi, sebagaimana dicita-citakan peradaban Eropa. Jadilah manusia bebas dari pretensi dan ambisi. Jadilah manusia peradaban yang wajar. Ampuni ayahmu ini, karena dia tidak mampu memberikan contoh sebaik-baiknya sebagaimana ia sendiri kehendaki.”

Telah aku selesaikan kewajibanku. Telah aku tuliskan bab terakhir dari perjalanan hidupku ini. Seandainya nanti kalian baca tulisan ini, aku harap akan ada sebuah pengampunan maaf dari kalian semua. Ya, kelak aku akan harapkan itu. Aku tak ingin ada penghalang dalam jalanku untuk kembali pada-Nya. Semoga memoir ini merupakan manifestasi akan semua dosa yang selama ini tertutup oleh kuasa dan upaya dari hinanya diriku. Sekali lagi aku ingatkan, jangan banggakan aku sebagai pribadi.

“Tuhan aku telah siap kembali untuk-Mu. Tuhan ampuni aku sebagai seorang pribadi, ampuni seluruh keluargaku yang harus menanggung rasa hina akan diriku. Sebagai seorang hamba, tentunya aku memelas mengharap segala ampun dari-Mu. Jangan biarkan aku kembali dengan penuh lumpur dosa yang hina ini. Maka ampunilah segala kesalahanku. Tuhan, hanya satu permintaanku. Jangan biarkan keluargaku mengalami nasib yang sama sepertiku. Lindungilah mereka dari segala pretensi yang selalu merongrong nurani jiwa. Jadikanlah mereka pribadi-pribadi yang selalu memegang teguh prinsip diri, jangan biarkan mereka menjadi budak dari segala kebutuhan yang meminta. Kuatkan mereka dalam menjalani hidup ini, bimbing mereka menuju jalan-Mu yang benar. Kelak aku akan bersimphoni dalam indahnya tempat-Mu. Terimakasih Tuhan.”

Langit hari ini cerah, tak ada deru gemuruh kehidupan sebagai aktifitas yang memaksa. Ya, pagi ini sangat indah tentunya. Seiring hujan berhenti, matari pun muncul dari ufuk sebelah timur. Hangatnya menyentuh setiap pori-pori kulitku. Ah…nikmatnya terasa hinga di hati. Aku kembali memuja segala karunia yang telah diberi.
Kembali pada-Nya sebagai akhir dari pencarian setiap pencari. Setiap pencari musti pada suatu ketika akan mengalami sakit yang tak alang kepalang. Ya, aku kembali dengan suasana jiwa yang baru. Aku kembali terlahir setelah kematian jasadku yang indah, dan aku bukan dalam dogsa.
“Ah…sayang, aku hanya bisa menikmatinya dalam nuansa dan dunia yang berbeda.”

Sukabumi -Juni



—David Setiadi—

Tidak ada komentar: