Rabu, 09 April 2008

Nuansa Jingga

Sejenak aku tersadar dari tidur yang teramat pulas ini…
“Sayang, bangun.” Dengan sebuah kecupan tepat di pipi kiri hingga ujung jidatku ini.
Aku tersadar bangun dan tentunya dengan ekspresi kaget. Aku tak menyadari dunia yang ada saat ini. Aku masih belum terlepas dari alam bawah sadarku. Inikah kenyataan? Atau memang aku masih berjelaga?
“Siapa kamu?” itu pertanyaanku padanya.
“Lho…ini aku sayang.” Dengan cepat kecupan itu mendarat di kening lalu ke bibir bagian bawahku.
“Ya, maaf” kataku saat itu.” Perlu aku bilang sayang padamu?”
Bukan jawaban yang kudapat, hanya dekapan hangat tubuhnya yang membelai seluruh tubuhku.
Sejenak dirinya menyandarkan kepalanya diatas dadaku. Kembali aku bingung harus berbuat apa. Ingin rasanya mencium harum wangi tubuhnya. Ingin pula aku belai rambut indahnya. Namun aku masih mengalami depresi dari sebuah keadaan yang aku tak mengerti ada.
Dirinya berbisik;
“Aku sayang kamu,” sembari mengelus dadaku “aku sayang kamu, sayang.”
Aku rasakan perjalanan ini sungguh menyiksa diriku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku terlalu muak dengan semua kata SAYANG darinya. Aku merana karena derita ini. Inikah sebuah perjalanan cinta. Ya, cinta. Cerita indah namun—memang benar—tiada arti. Aku rasakan kematian dari sebuah individualism dalam diri. Aku tersesal memang dalam nuansa yang mendua. Antara rindu dan benci akan semua kata tentang cinta.
Ah…aku tersadar lagi dari lamunanku. Aku masih ada dalam kenyataan yang nyata ada. Dirinya masih ada dipangkuanku. Hangat tubuhnya masih terasa dalam setiap sentuhan kulitku. Lagi-lagi aku ingin mencoba mendekatinya. Ingin sekali aku mencium kening indahnya. Harum wangi rambutnya membuat aku tergerak akan nafsu. Membutakan seluruh akal sehatku. Memang pada dasarnya aku ingin mencintainya. Lagi aku bertanya. Apa memang aku lagi dalam cinta. Dirinya terus menunjukan rasa sayangnya. Kecupan, belaian, dan yang lainnya, mungkinkah itu simbol sayang? Simbol cinta? Ah…aku tak mengerti.
sembari memandangnya, aku beranikan diri untuk berkata…
belum sempat…
Apa yang harus aku lakukan atas pertemuan ini? Kenapa, sayang. Ya, aku tanya kenapa, dan mengapa? Aku seperti tidak mengenalmu sama sekali. Kamu yang ada dalam pikiran awal benakku bukan seperti ini adanya. Lalu kenapa harus aku merasa ragu, gagu, dan tak kuasa dengan segala sentuhan yang kamu beri? Inikah apresiasi cintamu? Atau memang inilah simbol dari segala rasa sayangmu? Ah…sayang. Aku ingin sekali mencumbumu. Membenamkan seluruh indah tubuhmu dalam bentuk penuangan nafsu jiwa. Jangan kamu katakan itu bukan cinta! Itu wujud cinta, sayang. Aku sayang kamu. Sayang, sayang, sayang. Dan sungguh, saat ini aku tak tentu. Rasa itu hanya sebuah bualan semata. Semuanya hanya dalam ruang imajinasiku saja. Aku tak berani, sayang. Aku ingin mencium kamu sekali saja. Hanya satu kecupan saja.
Ya, belum sempat aku mengatakannya. Dirinya telah beranjak sembari menyerangku dengan sebuah kecupan yang manja. Lalu berkata;
“It’s hard to be far from you. So many of any thoughts are of you. Each night when the world is quite and still, your smile and the wonderful moments we have shared crowd my mind. Then I find my self missing you. Even more…” dengan pelukan hangatnya, dia berbisik “Sayang, aku merasa jemu dengan dirimu saat ini. Aku rasakan kematian dari kasih sayangmu. Inikah pertanda dari pupusnya cintamu? Aku ingin kau tersenyum sekali saja untukku. Walau terasa kamu bukan seperti yang aku kenal dulu. Masih adakah cinta itu, sayang? Jawab saja, karena aku butuh kepastian tentangnya.”
Aku tetap tak berkata. Aku gagu seiring kata tentang ragu. Belum sempat aku berpikir untuk beranjak, namun dirinya telah menyandarkan kembali kepalanya dalam dadaku dan terus memeluk erat tubuhku.
Aku muak dengan semua ini. Aku hanya ingin mencoba menyalurkan nafsuku saja. Ini bukan cinta! Ini bukan sayang! Ya, aku tekankan sekali lagi. Ini bukan cinta maupun sayang! Aku merana hanya dalam imajinasiku saja. Aku terlalu takut untuk jujur bahwa aku tak mengerti dengan arti perasaan. Inilah. Ya, inilah sebuah kebutaanku terhadap sebuah perasaan. Haruskah aku menangis, sayang?
Aku dalam sebuah perjalan. Entah hendak kemana kereta ini berlaju, namun tetap aku tak bisa berbuat apapun. Pelukan ini menjerat seluruh ragaku untuk berbuat. Dekapan itu semakin keras terasa, namun aku tak sanggup untuk mengelaknya.
Lirih dia berkata;
“Sayang, aku akan membawamu kembali. Ya, kembali lagi ke tempat yang semestinya rasa itu ada. Aku akan membuatmu tersenyum kembali. Bersama dengan aku tentunya. Satu hal yang akan membuatmu kembali sadar akan rasa ini, yaitu tentang ruang. Ruang yang selama ini aku jaga hanya untukmu. Ruang yang selama ini belum pernah ada yang mengisi selain dirimu.” Dirinya menatapku sejenak.” Kamu masih ingat kan, sayang?”
Aku kembali mengangguk tak mengerti.
Ada apa dengan ruang? Hal apa yang menjadi tanya tentang ruang? Ah…aku kembali larut dalam buaiannya. Aku tak mengerti. Namun dekapan ini membuatku lega sejenak.
Tak terasa perjalanan ini semakin tak karuan ujungnya. Aku tetap terjaga dari rasa lelah untuk terlelap. Dirinya—sesaat kulihat—masih terlelap dalam pangkuanku. Aku pandangi wajahnya. Kali ini aku beranikan diri untuk membelai rambutnya. Namun aku masih tak berani untuk menciumnya. Aku pandangi rona wajahnya. Manis. Ya, wajahnya manis, dan cantik. Sejenak dia menggumam;
“Jangan tinggalkan aku, sayang. Berikan sejenak dekapan hangat ini. Walau hanya sejenak, tentunya ini akan mengingatkanku padamu.”
Ah…aku tak mengerti.
Aku rebahkan dirinya diatas kursi. Sejenak aku pandangi dirinya. Ya, mungkin aku pernah mencintainya. Pernah pula—mungkin—menyayanginya. Namun aku tak mengerti dengan keadaan ini. Aku mungkin terjebak pada kenyataan yang semu adanya. Aku turun di persimpangan jalan itu.
Saat ini aku tepat di KM 22. Tepat disaat suasana hari sedang cerah. Memang aku rasakan nuansa yang berbeda dalam suasana di KM 22 ini. Aku ucapkan selamat tinggal untuk kamu.
“Selamat tinggal cinta, aku tak tahu semua kata tentangnya. Kelak ketika kamu terbangun, akan ada yang menunjukan jalan pulang untukmu. Aku tak ingin kembali pulang bersama denganmu lagi. Di KM 22 ini aku sudah temukan arah tujuan dari semua pencarianku.”
Sembari memandang kereta itu, aku terus susuri jalananan ini. Tepat di KM 22 aku kembali menemukan nuansa yang kembali ada. Tentunya dengan mengetahui akan keberadaanku.


Sukabumi, 2008

Tidak ada komentar: