Selasa, 07 Juli 2009

Mengingatmu...


Harusnya aku sadari kehadiran dirimu dalam hidupku. Rasanya sudah setahun. Ah, tepatnya sudah berapa lama? Bahkan aku sudah lupa tentang awal cinta. Selaksa musim gugur, ingatan tentang dirimu berguguran dihempas alu cuaca yang normaltik. Perjalanan rasa tak mampu pula menggiring asa yang tercantum dalam benakku untuk mengenalmu lagi. Lupa ingatankah aku? Atau memang kamu memang belum sempat ada dalam nuansa hatiku?

Tanya tak selalu tuntut jawaban. Ada hal yang musti dijawab, dan ada hak untuk tak menjawab. Sebuah tanya tentang ragu pula tak pelak untuk di elak dalam sebuah kata TIDAK. Gugur sudah semua harap yang ada. Au makin tak bisa mengingatmu. Tolong jangan paksa aku tentang hal itu, tentang cinta, sayang, rindu, dan segala yang berbau asmara. Semua itu semakin menyakitkanku. Aku lupa saja rasanya diriku.

Musim akhirnya beranjak dingin. Salju bulan Desember menyerebak dalam alunan simfoni alam. Dingin suasana tak membuat ingatan tentangmu ada. Pernah kau berujar, “Di musim dingin ini pertama kali kau mengucapkan cinta untukku”. Ah, benarkah hal itu. Aku pernah berujar janji seperti itu? Apakah ada paksaan darimu kala itu? Atau kau menjebak diriku untuk berkata seperti itu? Dan aku terus berkelit dengan segala hal yang menuntut jawab.

Sepoi angin berujar halus, bunyinya menggetarkan bulu kudukku yang semakin menggigil. Seperti ini bunyinya; “Busttt, busttt, bustttt...” Ah, sepertinya angin ingin berkelakar denganku. Namun, sejenak aku teringat akan desahan nafas yang menyentuh kudukku. Tapi desahan apa ini? Siapa yang aku coba ingat. Ya, aku ingat akan kecupan dan desahan hangat dalam tubuhku. Kecupannya terasa dalam setiap hembusan angin itu. Dejavu, sepertinya ini pernah ada.

Kutentang arus bayangan tentang kecupan, dan semilir angin ini. tak jua tumbuh sedikit ingatan tentang suasana satu pun. Aku berlari menerjang butiran salju yang semakin deras menyerang bumi yang putih terhias depulan salju. Lagi aku tak bisa sekedar mengingat tentang rahasia ini. Semoga Dia masih ada dalam nirwana yang menerjemahkan semua sabda dalam alam dan sebagian angin yang mengecupiku berkali-kali.

Berbagi dengan sejenak ingatan yang masih lumpuh akan sebuah cerita. Karena aku tak melihat kebenaran yang logic dalam pandangan tentangnya. Aku berkesah selalu dengan tuntutan orang tentang sebuah kesempurnaan diri. Yang katanya, aku jenius, pintar, cerdas. Itu pandangan orang yang mengingatku. Lalu kenapa aku tak bisa mengingat semuanya jika aku jenius, pintar, cerdas. Apa bedanya antara jenius, pintar, cerdas? Mereka menjawab, “Singkatnya, jenius hasil hitungan dari sebuah kompetensi. Dan pintar dengan hati itu cerdas namanya”. Aku terlena dengan penjelasan tentang ku. Adakah dunia mengerti tentang resahku saat ini. Aku yang katanya cerdas, tak bisa—untuk saat ini—mengingat tentangnya.

Entah kemana alur cerita ini akan berlanjut. Akan klimaks kah? Atau ini masih sebuah eksposisi belaka? Mundurlah sang malaikat, aku akan beranjak ke sana. Jangan dulu kau tetapkan takdir untukku. Karena sebelum aku kembali, aku ingin mengingat dulu memori tentang diriku. Please aku mohon!

Senin, 06 Juli 2009

ASONANSI


“Rasakan saja pelukanku ini.”

Resah tak bisa bicara dalam nuansa hati yang jengah. Sedih tak akan cukup sebagai representasi rasa. Ingin rasanya aku hanya melihat dirimu tersenyum saja, biar aku tak perlu menangis karena katanya aku laki-laki—dan tabu untuk sekedar menangis. Karena kamu menangis, aku pun sempatkan untuk menangis pula, walau kamu tak pernah tahu akan isak tangisku. Karena pelukanku ini mengaburkan pandangmu untuk melihat kesedihanku.

“Aku masih sayang Kamu.”

Rasanya kata hanya isyarat sederhana dalam sebuah rasa sendu. Hati merupakan makna yang tak bisa direka melalui bahasa yang nyata—baik lisan maupun tulisan. Ah, rasanya kamu bisa sekedar merasa dalam pelukanku ini. Pernahkah kamu mengerti tentang getir hati? Kenapa begitu, mungkin seperti itu pertanyaanmu. Tapi, lagi-lagi hati tidak perlu pembenaran kata sebagai bentuk apresiasi. Hanya isyarat yang ada sebagai sasmita yang harusnya menjadi alu pembenaran waktu. Akan janji hati.

“Ssst...rasakan saja pelukanku ini.”

Hampir satu jam kita berpelukan. Tepatnya bukan kita, tapi aku yang memelukmu untuk sekedar lari dari kenyataan bahwa aku menangis. Tanpa kata, tanpa suara, tanpa ekspresi yang memang disembunyikan. Hanya suara alam yang menggema, karena malam sudah bergerak menuju waktu dini. Rintik hujan menambah suara sunyi menjadi syahdu. Ya, hanya alam yang bersenandung riang—rasanya, namun kita hanya merasakan duka. Aku menangis, dan kamu pun menangis dengan sendunya.

“Sudahlah...” itu katamu.

“Ssst...jangan dulu berkata.” Aku memintanya diam.

Aku masih terus memeluknya, aku hanya ingin mengelak dari rasa rindu yang telah memuncak terhadapnya. Aku masih sedih dalam dingin tubuhnya, dan tak merasa janggal dengan kehadiran dirinya dalam malam yang beranjak dini tersebut. Aku hanya kangen saja, aku mungkin rindu saja. Ada yang aku bedakan dalam dua kata yang hampir sama maknanya dalam sebuah arti kata. Ya, aku kangen karena aku merindukanmu. Aku rindu karena memang rindu lain dengan kangen, yang notabene hanya merindu saja. Aku sayang kamu.

Sebentar saja, biar aku nikmati tubuhmu:

“Aku belum bisa untuk melepasmu. Walau kenyataan yang ada tak mungkin untukku memintamu kembali lagi. Jujur, ada kalanya aku tak bisa mengerti dengan arti kata pisah. Mengapa harus ada pertemuan bila akhirnya harus berpisah jua. Mengapa pula awal cinta begitu indah, hingga akhirnya kita berpisah dengan titik air mata. Aku mohon, jangan kamu lepaskan dulu pelukan ini. Biar aku terus rasakan adanya dirimu. Aku terlalu merindukanmu saat-saat ini. Buang saja cerita tentang waktu, kita rasakan pertemuan ini tanpa harus ada lagi kata pisah, pergi, dan tiada. Karena aku mau terus mendekapmu agar kamu tidak pergi lagi. Setiap tetes hujan selalu memberi isyarat, dan tentunya memberikan kesejukan pada hatiku. Mengapa? Karena aku tahu kamu akan kembali dalam bayangan hujan yang ada. Aku percaya saja dengan bahasa alam. Dan memang kamu hadir, Sayang. Peluk terus tubuhku ini. rasakan cinta saja, tanpa pretensi yang lainnya.”

Selepas itu;

Perlahan tubuhnya menghilang. Pertama bagian kakinya yang kulihat terus tak menapak. Lamat-lamat hingga hampir memasuki ujung rambut. Aku tak karuan dalam pelukan yang semakin kempis karena ragamu semakin menghilang. Aku kalut, Aku menangis, semakin jelas dirimu akan pergi lagi menginggalkanku. Sebelum pergi perlahan kamu berucap:

“Jangan bodoh.”

Aku kecup ujung rambut yang masih tersisa.

“Aku sayang kamu.”

Selepas kamu pergi, aku masih sendiri menjalani malam yang biasa kita lalui bersama. Jika ini sebuah kenyataan, aku hanya ingin sendiri saja tanpa cinta, tanpa sayang, dan tanpa wanita lagi. Kecuali kamu hadir, dan mengucapkan tidak untuk sikapku ini.

Kembalilah. Aku menunggumu. 09

Lho...


Lagi aku bingung dengan keadaan. Ada dua rasa yang berbeda ketika hendak berpikir, untuk satu yang meragu dan satu yang memikat laku untuk bertindak. Dengan ratap aku hanya berkeluh tanpa penuh deru untuk berseru yang bahwasanya aku gila dengan keadaan yang mendua ini. setelah akal tak memberi solusi pada ruang imajinasi untuk berkreasi dengan kesempitan pola pikir yang beku. Bukan karena kamu, tapi ada dalam diriku yang tak ada kontemplasi jiwa.

Lalu kamu berkata, “Kamu gila. Hilang akal. Sudah nggak waras”.

Apa ukuran bagi seorang dikata gila, sinting, nggak waras?

Orang berkata gila karena tak punya nyali. Ya, nyali untuk menilai dirinya sendiri yang notabene kosong tanpa berkaca pada cerminan dirinya. Lalu dinama letak eksistensi diri? Temukan di cara ada dan mengada. Dimana? Ada dalam bentuk fisikal diri yang berbentuk. Disekitar jasmani yang terangkum dalam bentuk indah jasmani (fisik) sebagai pola terstruktur dari sebuah ciptaan. Letak “mengada” ada dalam ruh. Dalam ruh yang diisi dengan iman, dan kepercayaan akan keberadaan yang Maha Agung di luar skema diri kita. Siapa? Tuhan, tentunya. Yang dengan segenap hati kita percayai, dan bukan untuk ditanyakan keberadaannya.

Sungguh. Aku berani sumpah. Aku bukan gila karena mencari Tuhan. Aku bingung kenapa intelektual tidak dihargai dalam sebuah eksistensi. Itu saja pertanyaanku.

Aku hanya bingung, Ayah, Ibu. Lho….? Kemana Tuhan pergi.