Harusnya aku sadari kehadiran dirimu dalam hidupku. Rasanya sudah setahun. Ah, tepatnya sudah berapa lama? Bahkan aku sudah lupa tentang awal cinta. Selaksa musim gugur, ingatan tentang dirimu berguguran dihempas alu cuaca yang normaltik. Perjalanan rasa tak mampu pula menggiring asa yang tercantum dalam benakku untuk mengenalmu lagi. Lupa ingatankah aku? Atau memang kamu memang belum sempat ada dalam nuansa hatiku?
Tanya tak selalu tuntut jawaban. Ada hal yang musti dijawab, dan ada hak untuk tak menjawab. Sebuah tanya tentang ragu pula tak pelak untuk di elak dalam sebuah kata TIDAK. Gugur sudah semua harap yang ada. Au makin tak bisa mengingatmu. Tolong jangan paksa aku tentang hal itu, tentang cinta, sayang, rindu, dan segala yang berbau asmara. Semua itu semakin menyakitkanku. Aku lupa saja rasanya diriku.
Musim akhirnya beranjak dingin. Salju bulan Desember menyerebak dalam alunan simfoni alam. Dingin suasana tak membuat ingatan tentangmu ada. Pernah kau berujar, “Di musim dingin ini pertama kali kau mengucapkan cinta untukku”. Ah, benarkah hal itu. Aku pernah berujar janji seperti itu? Apakah ada paksaan darimu kala itu? Atau kau menjebak diriku untuk berkata seperti itu? Dan aku terus berkelit dengan segala hal yang menuntut jawab.
Sepoi angin berujar halus, bunyinya menggetarkan bulu kudukku yang semakin menggigil. Seperti ini bunyinya; “Busttt, busttt, bustttt...” Ah, sepertinya angin ingin berkelakar denganku. Namun, sejenak aku teringat akan desahan nafas yang menyentuh kudukku. Tapi desahan apa ini? Siapa yang aku coba ingat. Ya, aku ingat akan kecupan dan desahan hangat dalam tubuhku. Kecupannya terasa dalam setiap hembusan angin itu. Dejavu, sepertinya ini pernah ada.
Kutentang arus bayangan tentang kecupan, dan semilir angin ini. tak jua tumbuh sedikit ingatan tentang suasana satu pun. Aku berlari menerjang butiran salju yang semakin deras menyerang bumi yang putih terhias depulan salju. Lagi aku tak bisa sekedar mengingat tentang rahasia ini. Semoga Dia masih ada dalam nirwana yang menerjemahkan semua sabda dalam alam dan sebagian angin yang mengecupiku berkali-kali.
Berbagi dengan sejenak ingatan yang masih lumpuh akan sebuah cerita. Karena aku tak melihat kebenaran yang logic dalam pandangan tentangnya. Aku berkesah selalu dengan tuntutan orang tentang sebuah kesempurnaan diri. Yang katanya, aku jenius, pintar, cerdas. Itu pandangan orang yang mengingatku. Lalu kenapa aku tak bisa mengingat semuanya jika aku jenius, pintar, cerdas. Apa bedanya antara jenius, pintar, cerdas? Mereka menjawab, “Singkatnya, jenius hasil hitungan dari sebuah kompetensi. Dan pintar dengan hati itu cerdas namanya”. Aku terlena dengan penjelasan tentang ku. Adakah dunia mengerti tentang resahku saat ini. Aku yang katanya cerdas, tak bisa—untuk saat ini—mengingat tentangnya.
Entah kemana alur cerita ini akan berlanjut. Akan klimaks kah? Atau ini masih sebuah eksposisi belaka? Mundurlah sang malaikat, aku akan beranjak ke sana. Jangan dulu kau tetapkan takdir untukku. Karena sebelum aku kembali, aku ingin mengingat dulu memori tentang diriku. Please aku mohon!