Senin, 06 Juli 2009

ASONANSI


“Rasakan saja pelukanku ini.”

Resah tak bisa bicara dalam nuansa hati yang jengah. Sedih tak akan cukup sebagai representasi rasa. Ingin rasanya aku hanya melihat dirimu tersenyum saja, biar aku tak perlu menangis karena katanya aku laki-laki—dan tabu untuk sekedar menangis. Karena kamu menangis, aku pun sempatkan untuk menangis pula, walau kamu tak pernah tahu akan isak tangisku. Karena pelukanku ini mengaburkan pandangmu untuk melihat kesedihanku.

“Aku masih sayang Kamu.”

Rasanya kata hanya isyarat sederhana dalam sebuah rasa sendu. Hati merupakan makna yang tak bisa direka melalui bahasa yang nyata—baik lisan maupun tulisan. Ah, rasanya kamu bisa sekedar merasa dalam pelukanku ini. Pernahkah kamu mengerti tentang getir hati? Kenapa begitu, mungkin seperti itu pertanyaanmu. Tapi, lagi-lagi hati tidak perlu pembenaran kata sebagai bentuk apresiasi. Hanya isyarat yang ada sebagai sasmita yang harusnya menjadi alu pembenaran waktu. Akan janji hati.

“Ssst...rasakan saja pelukanku ini.”

Hampir satu jam kita berpelukan. Tepatnya bukan kita, tapi aku yang memelukmu untuk sekedar lari dari kenyataan bahwa aku menangis. Tanpa kata, tanpa suara, tanpa ekspresi yang memang disembunyikan. Hanya suara alam yang menggema, karena malam sudah bergerak menuju waktu dini. Rintik hujan menambah suara sunyi menjadi syahdu. Ya, hanya alam yang bersenandung riang—rasanya, namun kita hanya merasakan duka. Aku menangis, dan kamu pun menangis dengan sendunya.

“Sudahlah...” itu katamu.

“Ssst...jangan dulu berkata.” Aku memintanya diam.

Aku masih terus memeluknya, aku hanya ingin mengelak dari rasa rindu yang telah memuncak terhadapnya. Aku masih sedih dalam dingin tubuhnya, dan tak merasa janggal dengan kehadiran dirinya dalam malam yang beranjak dini tersebut. Aku hanya kangen saja, aku mungkin rindu saja. Ada yang aku bedakan dalam dua kata yang hampir sama maknanya dalam sebuah arti kata. Ya, aku kangen karena aku merindukanmu. Aku rindu karena memang rindu lain dengan kangen, yang notabene hanya merindu saja. Aku sayang kamu.

Sebentar saja, biar aku nikmati tubuhmu:

“Aku belum bisa untuk melepasmu. Walau kenyataan yang ada tak mungkin untukku memintamu kembali lagi. Jujur, ada kalanya aku tak bisa mengerti dengan arti kata pisah. Mengapa harus ada pertemuan bila akhirnya harus berpisah jua. Mengapa pula awal cinta begitu indah, hingga akhirnya kita berpisah dengan titik air mata. Aku mohon, jangan kamu lepaskan dulu pelukan ini. Biar aku terus rasakan adanya dirimu. Aku terlalu merindukanmu saat-saat ini. Buang saja cerita tentang waktu, kita rasakan pertemuan ini tanpa harus ada lagi kata pisah, pergi, dan tiada. Karena aku mau terus mendekapmu agar kamu tidak pergi lagi. Setiap tetes hujan selalu memberi isyarat, dan tentunya memberikan kesejukan pada hatiku. Mengapa? Karena aku tahu kamu akan kembali dalam bayangan hujan yang ada. Aku percaya saja dengan bahasa alam. Dan memang kamu hadir, Sayang. Peluk terus tubuhku ini. rasakan cinta saja, tanpa pretensi yang lainnya.”

Selepas itu;

Perlahan tubuhnya menghilang. Pertama bagian kakinya yang kulihat terus tak menapak. Lamat-lamat hingga hampir memasuki ujung rambut. Aku tak karuan dalam pelukan yang semakin kempis karena ragamu semakin menghilang. Aku kalut, Aku menangis, semakin jelas dirimu akan pergi lagi menginggalkanku. Sebelum pergi perlahan kamu berucap:

“Jangan bodoh.”

Aku kecup ujung rambut yang masih tersisa.

“Aku sayang kamu.”

Selepas kamu pergi, aku masih sendiri menjalani malam yang biasa kita lalui bersama. Jika ini sebuah kenyataan, aku hanya ingin sendiri saja tanpa cinta, tanpa sayang, dan tanpa wanita lagi. Kecuali kamu hadir, dan mengucapkan tidak untuk sikapku ini.

Kembalilah. Aku menunggumu. 09

Tidak ada komentar: