Selasa, 15 September 2009
Rahasia
Bukan sekedar ragu dalam diri yang haus akan tanya
namun, apakah setiap tanya harus ada jawab?
2
Akankah kata 'akan' yang akan menjawab
semua tanya dalam diri yang haus akan jawab...
3
Satu, dua, dan tiga
ditambah
satu, satu, dua, tiga, lima, delapan, tiga belas...
(enigmatik?)
Rabu, 02 September 2009
Cake (ode untuk teman)
Seperti itulah permintaannya pada malam tadi. Entah kenapa dirinya hanya mau dan percaya bahwa kue hasil karyanya harus aku coba--dan memang kuenya enak.
Entah untuk keberapakalinya kue buatannya aku cicipi, tentunya dalam nuansa dan suasana yang seperti biasanya; ada tema, ada diskusi, ada tanya, ada jawab, ada-ada yang lainnya, yang menjadi muara dalam pertemuan dengan dirinya selalu.
"Wah, resep baru lagi neh?" Tanyaku sesaat.
"Kenapa? Ga enak ya?" Jawabnya. Saat itu ada murung dalam mukanya.
"Bukan gitu, cuma terlalu banyak tape-nya, kawan."
Ya, saat itu dirinya mencoba membuat kue dari bahan tape. Tapi pada dasarnya enak dan selalu yang aku inginkan adalah suasana itu, yang tidak aku temukan dengan yang lainnya.
Bukan hanya tentang kue yang ingin aku ceritakan dalam cerita ini, namun tentang sahabat yang selalu ada dalam setiap cerita tentangnya;
"Kawan, bukan hanya merajuk ingin saja, dalam cerita tentang indah persahabatan ini ada begitu banyak kagum yang sebenarnya ingin kuceritakan. Namun, kata/bahasaku tidak cukup untuk menerjemahkan ingin tersebut menjadi makna kata. Dirimu pun tahu, tanpa aku harus berkata pun, tentu tahu sebetulnya apa yang ingin aku ucapkan. Haha...begitulah aku yang menurutmu melankolis, sulit dimengerti, dan serba susah untuk menunjukkan laku sebagai sebuah representasi diri. Sebegitu dekatkah kita? Sebegitu mengenalkah kita? Ah...rasanya sikap tak adil ada padaku, yang tak bisa selugas, secermat, se-sederhana dirimu dalam ungkap kagum atas makna. Biarkan saja semua begini adanya, dengan sikap rendah hati aku ucapkan salute untukmu, kawan."
Masih ingat dalam pertemuan terakhir denganmu, ada semangat yang sama ketika kita beranjak pada fase selanjutnya dalam pencarian tentang manfaat diri;
"Kelak, suatu hari nanti kita ketemu lagi di tempat ini, dengan kedudukan dan nuansa yang baru. Kita harus bisa lebih berguna dari hari ini, untuk esok, lusa, dan seterusnya." Kata-kata yang masih kuingat darinya, ketika pertemuan harus dibatasi oleh ruang waktu dan jarak yang terlalu menganga. Satu yang pasti aku rindukan dalam indahnya dirimu;
"Aku rindukan setiap detik pertemuan denganmu; tentang nuansa, tentang suasana, tentang tanya, dan tentang jawab yang selalu ada, dan tentunya Aku rindu mencicipi kue buatanmu lagi."
: Lukisan kata sederhana dariku untuk kawan ANP; "Kawan, kamulah juaranya. Salute!"
Selasa, 01 September 2009
SERENADE
Ruangan ini kosong dan kotor. Entah mengapa aku berada di ruang yang pengap ini. Aku baru tersadar setelah aku tahu akan keberadaanku. Gelap, pengap, bau, dan segala macam yang mengganggu aku rasakan ketika hendak sadar terbangun dari mimpiku. Aku bergerak kesana kemari, dan aku mencari sumber udara untuk menghilangkan kepengapan suasana. Aku mencari sinar untuk menerangi setiap gelap dalam pelupuk mataku. Namun, semua jadi tak ada bagiku. Kenapa? Aku sempat bertanya sesaat akan nuansa baru yang tak mengenakan ini.
Selang beberapa hari, aku mulai terbiasa dengan kepenatan suasana ini. Aku belum bisa memaknai arti baru dalam nuansa yang sama sekali tak aku kenali. Kesunyian ini aku rasakan bersama suara jangkrik yang selalu menemani dalam heningnya nuansa.
Gemericik hujan mulai menemani kesunyianku. Bunyi rintikan itu membuatku sedikit mengingat siapa jati diriku. Aku terus maknai setiap irama yang hadir sebagai sebuah simfoni dalam dingin dan sunyinya suasana. Entah hari ini malam, siang, atau pagi. Yang ada bagiku saat ini hanya kegelapan yang menyeliputi seluruh pandanganku.
Tik, tik, tik, tik...
“Ya, bunyi itu!”
Tik, tik, tik, tik...
“Bunyi itu!”
Angin juga berhembus dengan menawarkan aura dingin yang membuat setiap bulu kudukku berdiri. Ah, rasanya aku bukan takut pada hembusan ini.
Tik, tik, tik, tik...
“Aghhhhhhhhhh.............anjing! kenapa aku tak bisa mengingat suara ini!”
Tik, tik, tik, tik...
Terlepas dari sadar atau tidak, aku rasakan pening ketika harus mendengar suara rintik hujan itu. Memori yang ada belum mau bercerita tentang arti yang bisa kuingat dari setiap suara alam yang menggema. Hujan tak jua reda. Aku terus menggigil kedinginan dan tersiksa dengan semakin bertambahnya kuantitas hujan yang ada.
Tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik....
“Arghhhhhhhhhhhhhhhhh...anjing! Aku tak tahu!”
Belaianmu sangat membuatku nyaman. Pelukan sayangmu menghangatkan tubuhku. Aku nikmati setiap rasa sayang yang kamu beri. Wujud cinta yang tulus darimu, telah membuatku begitu berarti. Aku sadari, hidup ini nyata dan harus diperjuangkan. Kamu juga yang selalu mengingatkanku untuk selalu memegang prinsip daripada harus tunduk dengan sebuah kebutuhan yang meminta. Kamu pula yang selalu mengingatkanku akan konsekuensi dari ideologi yang aku pilih. Kamu yang selalu mengingatkan aku;
“Hidup ini pilihan, Mas. Ya, Mas sendiri yang menentukan. Ikhtiar yang terbaik adalah bergerak. Jadi, Mas, musti bergerak. Begitupun ideologi, itu pilihan juga. Aku sayang kamu sebagai pribadi, sebagai individu dengan tanpa pretensi apa-apa. Ingat itu baik-baik ya, Mas.”
Jalinan cinta ini indah. Dengan hadirnya dirimu, aku semakin tahu akan kekuatan cinta. Aku yang seorang individualis, selalu bergelut dengan waktuku saja. Aku pikir, cinta hanya penghambat dalam laju revolusi. Namun, lagi-lagi kamu yang selalu mengingatkanku. Dan rasanya aku tergila untuk mencintaimu. Tak tahu aku bila tanpa cinta darimu.
Dor, dor, dor, dor...
“Aghhhhhhhhhhhhhh...anjing! Mengapa ini?!”
Dor, dor, dor, dor...
“Suara apa ini?!”
Sesaat irama rintik hujan itu berubah menjadi raungan bunyi senapan yang memekakkan gendang telingaku. Aku berlindung dari setiap serangan itu. Aku tutup telinga ini, aku tutup mata ini, aku berlari kesetiap sudut. Aku terus berlari, aku terus berlari, aku terus berlari... dan akhirnya aku menemukan cahaya dari sudut ruangan ini;
Aku hanya bisa menangis, saat kamu harus tergolek lemah karena dentuman peluru. Aparat itu terus menembakmu dengan sangat kejinya. Aku hanya bisa melihatmu mati dari kejauhan saja. Kamu sempat berkata—yang kulihat dalam matamu—kepadaku;
“Kamu harus tetap hidup, Mas. Jika mati. Matilah secara terhormat di antara teman seperjuanganmu. Ingat baik-baik pesanku. Jadilah individu yang unggul, jauhkan diri dari segala pretensi. Kamu harus memilih prinsip daripada harus tunduk terhadap segala kebutuhan. Ini mungkin akhir cerita cinta kita. Namun, aku akan selalu bersimfoni dalam indahnya nuansa yang baru. Aku menunggu hadirnya dirimu lagi, Mas.”
Hujan masih saja deras. Namun, suara rintik hujan ini telah kembali menjadi irama yang seharusnya.
Tik, tik, tik...
Aku menemukan kembali sinar dalam pelupuk mataku. Mungkin sebentar lagi hujan akan reda. Kelak aku bisa melihat pelangi yang indah, dan aku bisa menikmati setiap indah panorama dalam pancaran alam yang menerangi mataku kini.
Aku telah mengetahui keberadaamu. Aku juga telah relakan kepergianmu. Aku, aku...—sejenak aku menangis—tak tahu lagi harus ke mana melangkah. Memang aku telah menemukan kembali sinar ini. Namun, tanpamu...
“Aku tak bisa, Sekar.”