Selasa, 01 September 2009

SERENADE

Dalam rintik hujan ini, aku terus mencari keberadaanmu. Namun, aku tak menemukanmu. Entah untuk keberapa kalinya aku terus terlena dalam pencarian tentangmu. Aku hanya bisa menunggumu dalam balik ruang yang kosong ini. Setiap tetesan air hujan yang jatuh, selalu mengingatkanku akan detakan terakhir itu. Ya, aku hampir gila karena mengingatmu.

Ruangan ini kosong dan kotor. Entah mengapa aku berada di ruang yang pengap ini. Aku baru tersadar setelah aku tahu akan keberadaanku. Gelap, pengap, bau, dan segala macam yang mengganggu aku rasakan ketika hendak sadar terbangun dari mimpiku. Aku bergerak kesana kemari, dan aku mencari sumber udara untuk menghilangkan kepengapan suasana. Aku mencari sinar untuk menerangi setiap gelap dalam pelupuk mataku. Namun, semua jadi tak ada bagiku. Kenapa? Aku sempat bertanya sesaat akan nuansa baru yang tak mengenakan ini.

Selang beberapa hari, aku mulai terbiasa dengan kepenatan suasana ini. Aku belum bisa memaknai arti baru dalam nuansa yang sama sekali tak aku kenali. Kesunyian ini aku rasakan bersama suara jangkrik yang selalu menemani dalam heningnya nuansa.

Gemericik hujan mulai menemani kesunyianku. Bunyi rintikan itu membuatku sedikit mengingat siapa jati diriku. Aku terus maknai setiap irama yang hadir sebagai sebuah simfoni dalam dingin dan sunyinya suasana. Entah hari ini malam, siang, atau pagi. Yang ada bagiku saat ini hanya kegelapan yang menyeliputi seluruh pandanganku.

Tik, tik, tik, tik...

“Ya, bunyi itu!”

Tik, tik, tik, tik...

“Bunyi itu!”

Angin juga berhembus dengan menawarkan aura dingin yang membuat setiap bulu kudukku berdiri. Ah, rasanya aku bukan takut pada hembusan ini.

Tik, tik, tik, tik...

“Aghhhhhhhhhh.............anjing! kenapa aku tak bisa mengingat suara ini!”

Tik, tik, tik, tik...

Terlepas dari sadar atau tidak, aku rasakan pening ketika harus mendengar suara rintik hujan itu. Memori yang ada belum mau bercerita tentang arti yang bisa kuingat dari setiap suara alam yang menggema. Hujan tak jua reda. Aku terus menggigil kedinginan dan tersiksa dengan semakin bertambahnya kuantitas hujan yang ada.

Tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik....

“Arghhhhhhhhhhhhhhhhh...anjing! Aku tak tahu!”

Belaianmu sangat membuatku nyaman. Pelukan sayangmu menghangatkan tubuhku. Aku nikmati setiap rasa sayang yang kamu beri. Wujud cinta yang tulus darimu, telah membuatku begitu berarti. Aku sadari, hidup ini nyata dan harus diperjuangkan. Kamu juga yang selalu mengingatkanku untuk selalu memegang prinsip daripada harus tunduk dengan sebuah kebutuhan yang meminta. Kamu pula yang selalu mengingatkanku akan konsekuensi dari ideologi yang aku pilih. Kamu yang selalu mengingatkan aku;

“Hidup ini pilihan, Mas. Ya, Mas sendiri yang menentukan. Ikhtiar yang terbaik adalah bergerak. Jadi, Mas, musti bergerak. Begitupun ideologi, itu pilihan juga. Aku sayang kamu sebagai pribadi, sebagai individu dengan tanpa pretensi apa-apa. Ingat itu baik-baik ya, Mas.”

Jalinan cinta ini indah. Dengan hadirnya dirimu, aku semakin tahu akan kekuatan cinta. Aku yang seorang individualis, selalu bergelut dengan waktuku saja. Aku pikir, cinta hanya penghambat dalam laju revolusi. Namun, lagi-lagi kamu yang selalu mengingatkanku. Dan rasanya aku tergila untuk mencintaimu. Tak tahu aku bila tanpa cinta darimu.

Aku coba bergerak lagi. Aku masih mendengar rintikan hujan yang tadi. Rasanya hujan tak jua berhenti, barang sebentar saja. Terlepas dari ingatanku, aku kembali memaknai setiap bunyi rintik hujan ini. Namun!

Dor, dor, dor, dor...

“Aghhhhhhhhhhhhhh...anjing! Mengapa ini?!”

Dor, dor, dor, dor...

“Suara apa ini?!”


Sesaat irama rintik hujan itu berubah menjadi raungan bunyi senapan yang memekakkan gendang telingaku. Aku berlindung dari setiap serangan itu. Aku tutup telinga ini, aku tutup mata ini, aku berlari kesetiap sudut. Aku terus berlari, aku terus berlari, aku terus berlari... dan akhirnya aku menemukan cahaya dari sudut ruangan ini;

Aku hanya bisa menangis, saat kamu harus tergolek lemah karena dentuman peluru. Aparat itu terus menembakmu dengan sangat kejinya. Aku hanya bisa melihatmu mati dari kejauhan saja. Kamu sempat berkata—yang kulihat dalam matamu—kepadaku;

“Kamu harus tetap hidup, Mas. Jika mati. Matilah secara terhormat di antara teman seperjuanganmu. Ingat baik-baik pesanku. Jadilah individu yang unggul, jauhkan diri dari segala pretensi. Kamu harus memilih prinsip daripada harus tunduk terhadap segala kebutuhan. Ini mungkin akhir cerita cinta kita. Namun, aku akan selalu bersimfoni dalam indahnya nuansa yang baru. Aku menunggu hadirnya dirimu lagi, Mas.”

Hujan masih saja deras. Namun, suara rintik hujan ini telah kembali menjadi irama yang seharusnya.

Tik, tik, tik...

Aku menemukan kembali sinar dalam pelupuk mataku. Mungkin sebentar lagi hujan akan reda. Kelak aku bisa melihat pelangi yang indah, dan aku bisa menikmati setiap indah panorama dalam pancaran alam yang menerangi mataku kini.

Aku telah mengetahui keberadaamu. Aku juga telah relakan kepergianmu. Aku, aku...—sejenak aku menangis—tak tahu lagi harus ke mana melangkah. Memang aku telah menemukan kembali sinar ini. Namun, tanpamu...

“Aku tak bisa, Sekar.”

kesunyian Bumi, Agustus...

Tidak ada komentar: