Jumat, 20 November 2009

Tentang Pramoedya 1


•Antinomi

Wahai huruf ... alangkah akan tinggi ucapan terima kasihku, bilalah kamu menjadi buku terbuka, bagi manusia yang membacanya. (Pramoedya Ananta Toer)

Kata di atas merupakan sepenggal tulisan yang ditulis oleh Pramoedya dalam prolog sebuah bukunya Menggelinding 1. Bukan tentang tulisan tersebut yang ingin saya bahas dalam tulisan ini, namun ada sisi yang menarik ketika kita membicarakan Pramoedya sebagai sastrawan dan di lain pihak kita membicarakan muatan filsafat yang ada dalam setiap kata yang tertuang pada karya-karyanya—dan boleh kiranya saya menyebut Pram sebagai seorang filosof. Tentunya secara sosiologis, seorang sastrawan merupakan bagian dari masyarakatnya (suatu), ada penekanan pada pada sisipan “nya” yang saya kira bukan hanya sebagai partikel pengganti untuk kata jamak, namun saya lebih memaknainya sebagai penunjuk kepada hal yang dituju—yang dalam hal ini masyarakat tempat Pram berkelindan. Masyarakat sebagai sebuah komuni merupakan kumpulan dari berbagai ide, ideologi, agama, perasaan, persamaan, dan perbedaan, yang satu sama lain saling berkausal dalam sebuah konvensi yang dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab—seharusnya. Sebagai seorang sastrawan tentunya kita akan mengatakan bahwa muatan imajinasi akan lebih kental dalam sebuah makna. Namun jika kita berbicara Pram sebagai seorang filosof, di mana saya dapat membuktikan bahwa memang Pram sebagai filosof, setidaknya dalam karyanya.
Terdapat tiga kata yang menjadi jurang pemisah yang sering kita ungkap dalam membicarakan sastra dan filsafat; data, fakta, fiksi. Dengan mudah ketiga kata tersebut dapat kita pilah ketika mengatakan data digunakan untuk ilmu-ilmu empiris, fakta untuk sejarah, dan fiksi untuk sastra. Perlu kiranya saya bahas secara etimologis sederhana berkaitan dengan ketiga kata tersebut. Data adalah istilah Latin yang persis sama arti dan bentuknya dengan kata given dalam bahasa Inggris. Dare dalam bahasa Latin adalah to give dalam bahasa Inggris dalam bentuk infinitif. Sedangkan data/given adalah bentuk past participle. Dengan demikian, data berarti suatu yang diberikan. Di sini akan menyangkut kepada prasangka positivisme, yang menyatakan sesuatu dikatakan data jika kenyataan itu dianggap diberikan oleh alam, dan dimaknai oleh inderawi manusia. Hal tersebut akan merujuk kepada apa yang dinamakan veracitas naturae (the truthfulness of nature), atau kejujuran alam. Sebaliknya, Descartes dengan asas evedensinya berpegang pada asas veracitas Dei (the truthfulness of God). Dengan demikian, kedua hal tersebut akan berujung kepada apa yang disebut dengan knowledge (pengetahuan), bahwa pengetahuan tidak dimulai dengan data, melainkan hanya bisa dimulai dengan teori, sedangkan data berfungsi untuk menguji kebenaran teori.
Istilah fakta berasal dari bahasa Latin factum (bentuk past participle dari kata kerja facere). Dalam bahasa Inggris ekuivalennya adalah: done sebagai bentuk past participle dari to do. Istilah factum tidak ada padanannya dalam bahasa Inggris, yang kemudian mengambil alih kata Latin tersebut dan mengubahnya menjadi fact. Disini konsep fakta berasal dari alam pemikiran yang berhubungan erat dengan behaviorisme.
Kenyataan-kenyataan dalam alam seakan-akan diberikan oleh alam dan karena itu disebut data. Sedangkan dalam sejarah kenyataan-kenyataan itu dianggap dibuat dan dilakukan oleh manusia melalui tindakan-tindakannya dan karena itu menjadi fakta. Fakta adalah hasil tindakan manusia sebagai homo agens atau mahluk yang bertindak dan berbuat. Baik data atau fakta selalu berhubungan dengan indera manusia. Data diterima oleh indera manusia sedangkan fakta dilakukan melalui indera manusia.

to be continue...

Tidak ada komentar: