1. Memahamimu
Bagaimana mungkin
aku bisa percaya dengan kata-katamu? Kamu katakan padaku, “Patah tulang akan
semakin menguatkan”, padahal sekarang aku patah hati karenamu. Sulit bagiku
untuk menerima semuanya jika yang ada hanya maaf darimu. Setelah kejadian ini
aku masih tak bisa melupakanmu, kenapa kamu tidak pergi saja dari hidupku. Ya,
kenapa?
Dibalik jendela
ini aku selalu menunggunya datang. Bukan datang memberi cium, peluk, atau cinta
yang selama ini memihak pada kita berdua. Tapi, aku berharap kamu sekedar
datang tersenyum dan memberi tahu bahwa kau masih mengingatku. Dibalik jendela
ini aku pun selalu berharap bahwa aku segera bisa keluar dari kamar yang pengap
ini. Tentunya kamu pun tahu, bahwa aku hanya bisa menangis jika mengingat
mengapa aku harus berda di tempat seperti ini. Sulit bagiku untuk bisa
melupakanmu, walaupun menurut mereka sebagian dari ingatanku telah hilang.
Anehnya, ingatanku tentangmu tak bisa lekang digerus waktu. (1 Januari 2012)
2. Pesan
“Tapi kau takkan
tahu kalau aku merana...”
Semalam tadi aku
rasakan hangatnya dekapanmu. Aku tak sadar bahwa semalam tadi aku terlelap
nyaman di sela pahamu yang empuk. Ah, rasanya resik bau kemaluanmu membuatku
serasa di surga. Surga kenikmatan yang tiada tara. Kau elus terus kepalaku
sambil menembang sebuah lagu lama. Dalam hal ini aku yakin bahwa suaramu memang
merdu, sayang.
Kau tentunya
mengerti akan gundahku. Kedalaman rasa yang kita bangun tentunya telah membuat
kita mengerti akan suasana masing-masing hati. Katamu, “biar aku menebak nurani,
tanpa harus berkata-kata”, begitu katamu saat itu. Aku semakin mengerti akan
hati yang memadu diantara kita. Ini bukan masalah rasa sesaat, namun tentunya
kau tahu sudah berapa lama aku sekadar untuk bisa merasa. Banyak waktu yang
sudah kita rangkai menjadi bagian yang tidak lagi satu, tetapi sudah menjadi
menyatu diantara kita berdua. (17 Februari 2012)
3. Selang Rasa
Apalagikah selain kenangan? Untuk mengingatmu saja saat ini
aku sulit mewujudkannya. Semua ada setelah kata pisah yang kau ucapkan saat
itu:
“Aku ingin rehat dari hubungan ini”.
Selepas
pukul dua siang ini aku sempatkan untuk membuka Facebook-ku yang sudah beberapa hati ini tidak aku buka untuk
sekedar sejenak rehat dari aktivitas yang ada. Ada beberapa pesan yang menunggu
untuk dibuka lalu beberapa meminta respon untuk dibalas. Ada satu yang
membuatku menarik ketika membuka tag pesan tersebut, terselip namamu. Lalu tak
lama aku membuka pesan tersebut dan membaca isinya yang memang tertuju untukku.
“Aku ingin bertemu denganmu, di Café Goena. Temui aku ya,
Ren”.
Ada rasa yang berbeda rasa dalam benakku ketika membaca
pesan darinya. Entah mengapa memang terasa randu dalam syahdu. Aku rindu pada
sapaan kata sayang yang biasa terucap dari mulutnya. Aku rindu kehangatan
pelukan dari setiap inci badan yang merapat dengan tubuhku. Benarkah ini sebuah
rasa rindu, ketika aku harus menghargai perasaan cemas yang ada saat ini. Benar
sangat jangar terasa dalam diri yang merindumu, dinda. (21 Februari 2012)
4. Jeda...
Kabari aku selepas kau
bangun dari tidur panjang ini...
Di persimpangan itu, tepatnya setelah KM 20. Aku tinggalkan
dia yang tertidur pulas. Setelah sepanjang perjalanan aku dekap terus dirinya
dalam hangatnya cinta. Namun, aku harus objektif dengan segala perasaan yang
ada. Aku putuskan untuk meninggalkan dirinya.
Selang waktu;
Aku baru tersadar setelah bangun dari tidur panjangku. Aku
juga baru tersadar, ketika aku sudah tak dipelukannya lagi. Aku sempatkan
mencari keberadaan dirinya. Namun, setelah aku temukan kertas yang tertuju
untukku, aku putuskan untuk berhenti mencarinya. Sejenak, aku baca memo
darinya.
Tak lama aku putuskan untuk menghubunginya;
“Kamu dimana?”
“Ada di hatimu.”
“Lalu kenapa...” Belum sempat mengucap, dia telah menyela.
“Sudahlah. Sudah saja, biar rasa ini berlalu dengan
sendirinya. Biar aku berjalan sendiri tanpa dirimu. Ini jalan yang kita pilih.” (Maret 2012)
5. Mengingatmu...
Harusnya aku sadari kehadiran dirimu dalam hidupku. Rasanya
sudah setahun. Ah, tepatnya sudah berapa lama? Bahkan aku sudah lupa tentang
awal cinta. Selaksa musim gugur, ingatan tentang dirimu berguguran dihempas alu
cuaca yang normaltik. Perjalanan rasa tak mampu pula menggiring asa yang tercantum
dalam benakku untuk mengenalmu lagi. Lupa ingatankah aku? Atau memang kamu
memang belum sempat ada dalam nuansa hatiku?
Tanya tak selalu tuntut jawaban. Ada hal yang musti dijawab,
dan ada hak untuk tak menjawab. Sebuah tanya tentang ragu pula tak pelak untuk
di elak dalam sebuah kata TIDAK. Gugur sudah semua harap yang ada. Au makin tak
bisa mengingatmu. Tolong jangan paksa aku tentang hal itu, tentang cinta,
sayang, rindu, dan segala yang berbau asmara. Semua itu semakin menyakitkanku.
Aku lupa saja rasanya diriku.
Musim akhirnya beranjak dingin. Salju bulan Desember
menyerebak dalam alunan simfoni alam. Dingin suasana tak membuat ingatan
tentangmu ada. Pernah kau berujar, “Di musim dingin ini pertama kali kau
mengucapkan cinta untukku”. Ah, benarkah hal itu. Aku pernah berujar janji
seperti itu? Apakah ada paksaan darimu kala itu? Atau kau menjebak diriku untuk
berkata seperti itu? Dan aku terus berkelit dengan segala hal yang menuntut
jawab.
Sepoi angin berujar halus, bunyinya menggetarkan bulu
kudukku yang semakin menggigil. Seperti ini bunyinya; “Busttt, busttt, bustttt...”
Ah, sepertinya angin ingin berkelakar denganku. Namun, sejenak aku teringat
akan desahan nafas yang menyentuh kudukku. Tapi desahan apa ini? Siapa yang aku
coba ingat. Ya, aku ingat akan kecupan dan desahan hangat dalam tubuhku.
Kecupannya terasa dalam setiap hembusan angin itu. Dejavu, sepertinya ini pernah ada.
Kutentang arus bayangan tentang kecupan, dan semilir angin
ini. tak jua tumbuh sedikit ingatan tentang suasana satu pun. Aku berlari
menerjang butiran salju yang semakin deras menyerang bumi yang putih terhias
depulan salju. Lagi aku tak bisa sekedar mengingat tentang rahasia ini. Semoga
Dia masih ada dalam nirwana yang menerjemahkan semua sabda dalam alam dan
sebagian angin yang mengecupiku berkali-kali.
Berbagi dengan sejenak ingatan yang masih lumpuh akan sebuah
cerita. Karena aku tak melihat kebenaran yang logic dalam pandangan tentangnya. Aku berkesah selalu dengan tuntutan
orang tentang sebuah kesempurnaan diri. Yang katanya, aku jenius, pintar,
cerdas. Itu pandangan orang yang mengingatku. Lalu kenapa aku tak bisa
mengingat semuanya jika aku jenius, pintar, cerdas. Apa bedanya antara jenius,
pintar, cerdas? Mereka menjawab, “Singkatnya, jenius hasil hitungan dari sebuah
kompetensi. Dan pintar dengan hati itu cerdas namanya”. Aku terlena dengan
penjelasan tentang ku. Adakah dunia mengerti tentang resahku saat ini. Aku yang
katanya cerdas, tak bisa—untuk saat ini—mengingat tentangnya.
Entah kemana alur cerita ini akan berlanjut. Akan klimaks
kah? Atau ini masih sebuah eksposisi
belaka? Mundurlah sang malaikat, aku akan beranjak ke sana. Jangan dulu kau
tetapkan takdir untukku. Karena sebelum aku kembali, aku ingin mengingat dulu
memori tentang diriku. Please aku
mohon! (April 2012)
5. Mei 2012- Selamanya...
p.s.: Tenang-tenanglah, sayang jangan kau bimbang, sebentar lagi kan datang.. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar