Di sekitar kita kata salah selalu ada, untuk itu maaf merupakan solusi terbaik. Ini bukan tentang Tuhan, Malaikat, Dewa, setan, hantu, atau pun cinta, kasih, sayang, dan semua yang berbau romantisme jiwa. Sungguh atas nama semuanya itu aku tidak terima.
Ada satu hal yang sesungguhnya tak ayal bila diungkap dalam kata. Antara satu rasa, satu jiwa, satu raga, dan satu tentang cinta. Bila sebuah makna telah salah di artikulasikan dan bila arti telah salah dimaknai, maka aku berkata:
“Atas nama Tuhan aku tidak terima semua ini.”
Karena ini adalah catatan kata tentang maaf, maka aku mulai dengan rasa iba.
“Maafkan Aku.” Terimakasih.
Sebagai seorang yang percaya Tuhan, aku selalu ada dalam kisah tentang perundungan rasa sesal. Untuk kesekian kalinya dalam rasa yang menyesal ini, aku berucap semu tentang makna rasa jiwa. Selalu ada saja, ketika akal hendak merepresentasi otak. Mulut-mulut sensorik jiwa ada dan berkata:
“Ya, jiwa adalah satu rasa raga, dan nurani ada untuk kalahkan egonya rasa.”
Terlalu sesak rasanya penjelasan tentang jiwa, raga, otak, dan nurani jiwa. Yang aku ketahui raga, jiwa, otak, adalah representasi ilusi diri. Tentunya itu belum pasti benar. Maaf.
Awal baru, hari baru, tapi masih di bulan yang sama. Catatan kata ini adalah catatan jiwa, catatan raga, catatan hal yang nyata. Kata ragu bukan lagi sebuah dogma rasa.
Cinta. Ya, cinta; cerita indah namun tiada arti. Mungkin terlalu naïf bila kata itu ada. Aku hanya tertawa.
“Hahahaha.”
“Anjing!”
“Jenuh, jenuh sekali hari ini kurasa.” Titik balik dari rasa senang, gembira.
“Ah…aku tahu, ragu, bisu, dan mereka ucap semu.”
“Dasar anjing bau, yang hanya tahu apa makna gagu.”
Maaf jika aku sok tahu.
—David Setiadi—
1 komentar:
"raga, jiwa, otak, adalah representasi ilusi diri"
Kenapa ilusi, Vid? bisakah kau jelaskan padaku apa arti dari pernyataanmu??
-terus nulis ya, ntar aku jd pembaca setia tulisan-tulisanmu...-
Posting Komentar