Senin, 31 Agustus 2009

Seharusnya...



“Aku hanya korban dari keadaan frustasi...”

Itulah kata yang pertamakali aku temukan dalam kumpulan tulisannya. Entah itu hanya sebuah tulisan kata hati, atau memang sebuah kata yang tulus dari dalam hati. Memang hanya tanda tanya yang selalu melekat pada dirinya. Dan seolah hanya keraguan yang selalu terlintas pada raut wajahnya. Sebuah keajaiban yang selama ini luput dari rekaanku, ternyata dirinya seorang penulis yang berbakat. Masih tanda tanya tentunya, karena semua itu apa benar memang bakat atau hanya sebuah ungkapan kebisuan belaka. Seandainya aku tahu dari dulu.

Aku lupa akan segala keresahannya selama ini, dan memang aku tak pernah tahu akan rasa frustasi yang membelenggunya. Sehingga akhirnya tiba waktu untuk kembali pada-Nya. Ya, padamu Tuhan.

Serasa cepat semua itu berlalu, sebelum aku tahu akan semua misteri ragu itu. Aku titipkan segala rindu ini bersama rincik bunga kamboja yang mengantarkan perjalanan terakhirnya.

“Bodoh!”

Ya, aku memang bodoh. Aku terlalu sibuk dengan pergulatan waktuku saja. Sehingga lupa akan kehadirannya. Semua tulisan-tulisannya aku coba baca dan renungkan sebagai obat duka akan kerinduaan yang mendalam ini.

Dalam sebuah tulisannya yang diberi judul Tak sanggup, aku merasa terenyuh;

“Mestinya aku menyadari diriku telah kau miliki, namun tetap seutuhnya aku adalah aku. Dalam rona bulan yang samar. Aku selalu merintih akan rasa tanya yang tak tentu. Mungkin hanya aku yang tahu. Apa Anda, atau siapa saja ada yang peduli? Ah… Aku seperti pengemis saja, yang minta belas kasihan. Aku hanya korban dari keadaan frustasi. Diri ini lelah, seiring kata tentang gundah. Adakah kau mengerti tentang kesepianku ini. Aku masih saja tak sanggup dengan misteri tentang ada. Tolong koreksi jika salah.”

Entah memang hanya sebuah karangan belaka, atau memang benar sebuah kata hati. Lagi-lagi aku temukan kata-kata itu. “Aku hanya korban dari keadaan frustasi…” Bungaku, adakah semua ini hanya sebuah replika belaka. Tentang ragu itu sungguh aku tak tahu, dan tak menentu. Hanya dirimu yang tahu.

Aku coba renungkan segala kata representasi hatinya. Kali ini akan selalu aku dengar segala kegundahanmu, tentunya dalam dua dimensi yang berbeda. Tapi kini aku tahu akan keberadaanmu. Semoga terasa syahdu dalam randu.

Mengapa dirinya tak ingin ungkap segala tentang hal itu padaku. Aku merasa tercampakan, apakah aku kurang suci untuk sebuah pengakuan resah. Memang tak salah bila berujung duka dan penyesalan. Namun hatiku masih akan tetap membuka dan selalu terbuka untukmu kelak, bila kita dipertemukan kembali.

Aku kembali membaca tulisannya lagi;

“Tak ingin sebenarnya mata ini aku tutup, karena aku takut akan gelap. Tapi pada saat ini, justru terang yang sangat menyakitiku. Seolah gelap dalam terang, dan ada cahaya terang dalam kegelapan. Ya, itulah rasanya tentang sebuah rasa takut. Hingga aku tersadar dari dunia maya, dan ternyata aku sudah berada di alam yang sama sekali berbeda. Terlepas dari jeritan panjangku, aku coba buka mataku. Ini nyata, ini nyata, ini nyata. Ah…ini mimpi, ini hanya sebuah mimpi. Ayo bangunkan aku! Bangunkan aku! Sentuh aku, dorong aku hingga terbangun lagi.”

Aku coba rasakan betapa beratnya dirimu yang harus bergulat dengan rasa sakit itu. Jangan kau kira aku tak menangis saat membaca tulisanmu ini.

Sungguh aku rasakan semua kepedihanmu. Seiring gemericik hujan yang menemani rasa tangisku, aku coba menikmati kepedihan dukamu.

Sungguh hanya aku yang bodoh. Yang tak bisa benar-benar mendalami semua kepedihanmu. Seandainya kau ada saat ini, tentu akan kupinjamkan bahuku untukmu. Bunga aku menangis. Sungguh ini sebuah kejujuran.

Aku yakin akan bisa menemanimu kelak, semoga itu tak lama. Aku rindu. Dan rindu itu terus saja ada semenjak kepergianmu. Untuk mendulang lagi masa itu, aku butuh waktu Bunga. Aku belum ingin menggantikan keberadaan dirimu dilubuk hatiku, walau Lastri sungguh menyentuh untuk kujamah dalam cinta. Apa benar kau setuju.

Memang sebuah dilema dalam dua rasa yang berbeda. Satu yang pergi dan satu yang menyibak hati. Memang kalian adalah objek rasa, tumpuan segala asa.

“Lastri apakah kau mau pulang denganku?”

“Tentu saja Ren, kenapa tidak.”

Kami berdua berjalan dalam bayangan Bunga yang tersenyum.

Dalam hatiku:

“Bunga jika semua ini inginmu, aku coba jalani rasa ini walau tak tentu. Tentang Lastri, biarlah waktu yang memberinya sebuah pengertian ketulusan cinta. Untuk saat ini tolong kau pergi jauh dari pandanganku. Biar semua konsentrasiku tetap terfokus untuk Lastri. Doa ku selalu bersamamu, Bunga.”

“Ren, Ren, Ren… kenapa?”

Semua itu buyar.

“Tidak ada apa-apa Las.”

Aku bohong pada Lastri.

Apakah benar semua ini? Haruskah kuduakan cinta Lastri oleh bayanganmu Bunga.

“Ah… ada yang salah semua ini.”

Aku kembali membaca pesan terakhir yang dirinya tulis dalam kumpulan tulisannya.

“Ren,aku tak tahu harus merasa apa. Entah senang, cemburu, bahkan mungkin tak tentu. Tapi semua itu benar. Lastri adalah sungguh dirimu, aku sudah cukup paham tentang segala hal cintamu. untuk yang satu ini tolong seharusnya kamu bisa mengerti lebih. Dan bisa lebih mengerti tentang inginku. Untuk kebahagiaanmu dan tentunya kebaikanku juga. Ren, maaf bila aku egois, karena pada dasarnya aku memang cinta. Semoga kau bahagia dengan Lastri.”

Bunga sungguh aku makin tak mengerti akan semua tentangmu. Dirimu memang misteri bagiku, dan tak akan pernah terpecahkan dalam sisa umur hidupku. Bunga aku coba jalani semua tentang pintamu. Tentang kepedihan, luka, rasa sakit, dan kepergianmu, jujur aku juga rasakan. Semoga kau tak frustasi lagi di alam sana.

Apakah benar sebuah pemaksaan nurani? Apakah benar sebuah prasangka yang tersembunyi? Maafkan aku Lastri. Semoga semua itu menjadi pembenaran tentang sebuah janji. Biarlah waktu yang memberitahukan segala tentangnya.

Hari ini ada yang lain dalam diri Lastri.

“Lastri, tunggu aku.”

“Hai, kenapa Ren. Ada apa?”

“Nanti bisa kita pulang sama-sama?”

“Ya sudah, nanti tunggu aku ya Ren.”

“Ya.”

Kami berdua berjanji untuk saling menunggu. Dan yang pasti untuk saling membuka diri tentang rasa tabu masing-masing diri.

“Lastri semoga kelak kau bisa mengerti.”


David, Sukabumi…





ps: Karya klasik, ketika pertama kali aku mulai menulis tentang hati. "Seharusnya kamu tahu rasa hatiku tentang cinta ini."

Rabu, 19 Agustus 2009

Melukis Hati

Keliru, jika kau katakan pagi ini mendung. Pagi hari ini cerah adanya. Yang mendung adalah rasa hatiku. Ya, hatiku sedang mendung. Merana karena dirimu. Ah… sesungguhnya bukan karena dirimu. Akan tetapi, karena diriku yang tidak bisa memberi apa yang menjadi harap.

Sungguh aku tak bisa.

“Jangan kau paksa aku untuk menulis cinta.”

“Tapi itu yang aku ingin saat ini.”

“Lalu harus bagaimana aku menuliskannya, Han?”

Hani memintaku untuk menulis. Ya, menulis tentang perasaanku kepadanya. Dia ingin mereka bahasa cintaku. Mungkin adanya ragu dalam hati, yang menjadi alasan tentang satu pinta itu. Aku tak bisa jika harus menulis cinta.

Sebentar tadi langit cerah. Ah… tak lama kemudian langit telah menjadi mendung kembali. Mendung di langit ini mungkin sebuah sasmita. Sebuah tanda yang meminta untuk segera bersiap akan datangnya hujan. Adakalanya hujan datang tepat saat aku tak menginginkannya. Mungkin juga, hujan bisa menjadi inspirasiku untuk menulis cinta. Ah…hujan datang jua. Tapi tetap aku tak bisa menuliskannya.

“Ren, aku kecewa. Aku tahu kamu selalu romantis dengan kata terhadap orang lain. Lalu, kenapa tidak denganku? Aku hanya ingin kamu bisa menuliskanku cinta!”

Hani kembali meminta apa yang menjadi harap.

Baiklah, Hani. Aku lukiskan tentang perasaan, bukan menulis tentang cinta. Akan tetapi, Melukis hati. Seperti ini kiranya:

“Rasa di hati tak bisa aku ceritakan kepadamu. Tentu ada kalanya aplikasi perasaan tak harus tervisualisasikan dalam nuansa kata. Akan tetapi, makna selalu ada sebagai representasi hati. Jangan kau pinta aku untuk menuliskannya. Karena, pada dasarnya bahasa manusia (kata) tak akan cukup untuk menuliskannya. Cukup akan aku lukiskan perasaan hatiku saja. Lalu dirimu akan bertanya. Seperti apa? Mula-mula aku akan katakan lewat bahasa, lalu akan aku representasikan dengan laku, akhirnya aku harap kau bisa melihat dan merasakan betapa indahnya hatiku. Ya, indahnya rasa hatiku yang aku lukiskan bersama dengan rasa cinta yang ada untuk dirimu.

“Mungkin hanya hujan yang dapat memudarkan warnanya. Jadi simpan baik-baik lukisan hatiku ini. Kelak ini akan menjadi sebuah penawar rasa rindu yang sangat kepadaku. Lalu dirimu akan bertanya, kenapa? Ah…sayang, lagi-lagi aku ingatkan jangan tanya kenapa. Ya, aku akan menyesalinya.

“Lukisan hati ini sebagai karya terakhirku untuk dirimu. Menyakitkan bukan? Memang harusnya dirimu tahu sebelumnya. Harusnya jua dirimu tahu akan indahnya hatiku, akan pula kagum dengan rasa yang kuberi, tulus dalam sebuah janji hati. Aku menyesal akan dirimu. Akan pintamu tentang menulis cinta. Jujur aku bukan tukang obral kata cinta, aku adalah aku yang jujur mencintaimu dengan sepenuh hati. Maka dari itu, aku lukiskan hatiku. Semoga dirimu mengerti. Aku bingkai sebagai kenangan.”

Langit kembali cerah karena hujan telah reda. Ah…keliru jika kau katakan langit ini cerah, yang benar hatiku yang cerah kembali. Seiring hujan berhenti sebagai awal sang matari mulai muncul seperti fajar pagi duniaku dalam lukisan hati.

“Selamat tinggal cinta, aku bawa lukisan hatiku untukmu…”

Selasa, 18 Agustus 2009

Nelangsa...

Oh...malam yang gelap

larut dalam renungan malam doa

Ah...desahan nafas tangis

seka dalam balutan nuansa

Uh...aku lagi dalam,

“Nestapa tanpa ujung jua.”

Merajuk Ingin...

Aku mau semua begitu adanya. Namun, yang ada begini jadinya.

Kenapa kirana itu tak tergapai? Atau memang kau bukan yang ada untukku.

ayal ku berujar;

“Kau memang sasmita”.

Aku tak sanggup menerka lagi, karena kau

memang misteri.

Lagi hanya merajuk ingin saja.

Selasa, 07 Juli 2009

Mengingatmu...


Harusnya aku sadari kehadiran dirimu dalam hidupku. Rasanya sudah setahun. Ah, tepatnya sudah berapa lama? Bahkan aku sudah lupa tentang awal cinta. Selaksa musim gugur, ingatan tentang dirimu berguguran dihempas alu cuaca yang normaltik. Perjalanan rasa tak mampu pula menggiring asa yang tercantum dalam benakku untuk mengenalmu lagi. Lupa ingatankah aku? Atau memang kamu memang belum sempat ada dalam nuansa hatiku?

Tanya tak selalu tuntut jawaban. Ada hal yang musti dijawab, dan ada hak untuk tak menjawab. Sebuah tanya tentang ragu pula tak pelak untuk di elak dalam sebuah kata TIDAK. Gugur sudah semua harap yang ada. Au makin tak bisa mengingatmu. Tolong jangan paksa aku tentang hal itu, tentang cinta, sayang, rindu, dan segala yang berbau asmara. Semua itu semakin menyakitkanku. Aku lupa saja rasanya diriku.

Musim akhirnya beranjak dingin. Salju bulan Desember menyerebak dalam alunan simfoni alam. Dingin suasana tak membuat ingatan tentangmu ada. Pernah kau berujar, “Di musim dingin ini pertama kali kau mengucapkan cinta untukku”. Ah, benarkah hal itu. Aku pernah berujar janji seperti itu? Apakah ada paksaan darimu kala itu? Atau kau menjebak diriku untuk berkata seperti itu? Dan aku terus berkelit dengan segala hal yang menuntut jawab.

Sepoi angin berujar halus, bunyinya menggetarkan bulu kudukku yang semakin menggigil. Seperti ini bunyinya; “Busttt, busttt, bustttt...” Ah, sepertinya angin ingin berkelakar denganku. Namun, sejenak aku teringat akan desahan nafas yang menyentuh kudukku. Tapi desahan apa ini? Siapa yang aku coba ingat. Ya, aku ingat akan kecupan dan desahan hangat dalam tubuhku. Kecupannya terasa dalam setiap hembusan angin itu. Dejavu, sepertinya ini pernah ada.

Kutentang arus bayangan tentang kecupan, dan semilir angin ini. tak jua tumbuh sedikit ingatan tentang suasana satu pun. Aku berlari menerjang butiran salju yang semakin deras menyerang bumi yang putih terhias depulan salju. Lagi aku tak bisa sekedar mengingat tentang rahasia ini. Semoga Dia masih ada dalam nirwana yang menerjemahkan semua sabda dalam alam dan sebagian angin yang mengecupiku berkali-kali.

Berbagi dengan sejenak ingatan yang masih lumpuh akan sebuah cerita. Karena aku tak melihat kebenaran yang logic dalam pandangan tentangnya. Aku berkesah selalu dengan tuntutan orang tentang sebuah kesempurnaan diri. Yang katanya, aku jenius, pintar, cerdas. Itu pandangan orang yang mengingatku. Lalu kenapa aku tak bisa mengingat semuanya jika aku jenius, pintar, cerdas. Apa bedanya antara jenius, pintar, cerdas? Mereka menjawab, “Singkatnya, jenius hasil hitungan dari sebuah kompetensi. Dan pintar dengan hati itu cerdas namanya”. Aku terlena dengan penjelasan tentang ku. Adakah dunia mengerti tentang resahku saat ini. Aku yang katanya cerdas, tak bisa—untuk saat ini—mengingat tentangnya.

Entah kemana alur cerita ini akan berlanjut. Akan klimaks kah? Atau ini masih sebuah eksposisi belaka? Mundurlah sang malaikat, aku akan beranjak ke sana. Jangan dulu kau tetapkan takdir untukku. Karena sebelum aku kembali, aku ingin mengingat dulu memori tentang diriku. Please aku mohon!

Senin, 06 Juli 2009

ASONANSI


“Rasakan saja pelukanku ini.”

Resah tak bisa bicara dalam nuansa hati yang jengah. Sedih tak akan cukup sebagai representasi rasa. Ingin rasanya aku hanya melihat dirimu tersenyum saja, biar aku tak perlu menangis karena katanya aku laki-laki—dan tabu untuk sekedar menangis. Karena kamu menangis, aku pun sempatkan untuk menangis pula, walau kamu tak pernah tahu akan isak tangisku. Karena pelukanku ini mengaburkan pandangmu untuk melihat kesedihanku.

“Aku masih sayang Kamu.”

Rasanya kata hanya isyarat sederhana dalam sebuah rasa sendu. Hati merupakan makna yang tak bisa direka melalui bahasa yang nyata—baik lisan maupun tulisan. Ah, rasanya kamu bisa sekedar merasa dalam pelukanku ini. Pernahkah kamu mengerti tentang getir hati? Kenapa begitu, mungkin seperti itu pertanyaanmu. Tapi, lagi-lagi hati tidak perlu pembenaran kata sebagai bentuk apresiasi. Hanya isyarat yang ada sebagai sasmita yang harusnya menjadi alu pembenaran waktu. Akan janji hati.

“Ssst...rasakan saja pelukanku ini.”

Hampir satu jam kita berpelukan. Tepatnya bukan kita, tapi aku yang memelukmu untuk sekedar lari dari kenyataan bahwa aku menangis. Tanpa kata, tanpa suara, tanpa ekspresi yang memang disembunyikan. Hanya suara alam yang menggema, karena malam sudah bergerak menuju waktu dini. Rintik hujan menambah suara sunyi menjadi syahdu. Ya, hanya alam yang bersenandung riang—rasanya, namun kita hanya merasakan duka. Aku menangis, dan kamu pun menangis dengan sendunya.

“Sudahlah...” itu katamu.

“Ssst...jangan dulu berkata.” Aku memintanya diam.

Aku masih terus memeluknya, aku hanya ingin mengelak dari rasa rindu yang telah memuncak terhadapnya. Aku masih sedih dalam dingin tubuhnya, dan tak merasa janggal dengan kehadiran dirinya dalam malam yang beranjak dini tersebut. Aku hanya kangen saja, aku mungkin rindu saja. Ada yang aku bedakan dalam dua kata yang hampir sama maknanya dalam sebuah arti kata. Ya, aku kangen karena aku merindukanmu. Aku rindu karena memang rindu lain dengan kangen, yang notabene hanya merindu saja. Aku sayang kamu.

Sebentar saja, biar aku nikmati tubuhmu:

“Aku belum bisa untuk melepasmu. Walau kenyataan yang ada tak mungkin untukku memintamu kembali lagi. Jujur, ada kalanya aku tak bisa mengerti dengan arti kata pisah. Mengapa harus ada pertemuan bila akhirnya harus berpisah jua. Mengapa pula awal cinta begitu indah, hingga akhirnya kita berpisah dengan titik air mata. Aku mohon, jangan kamu lepaskan dulu pelukan ini. Biar aku terus rasakan adanya dirimu. Aku terlalu merindukanmu saat-saat ini. Buang saja cerita tentang waktu, kita rasakan pertemuan ini tanpa harus ada lagi kata pisah, pergi, dan tiada. Karena aku mau terus mendekapmu agar kamu tidak pergi lagi. Setiap tetes hujan selalu memberi isyarat, dan tentunya memberikan kesejukan pada hatiku. Mengapa? Karena aku tahu kamu akan kembali dalam bayangan hujan yang ada. Aku percaya saja dengan bahasa alam. Dan memang kamu hadir, Sayang. Peluk terus tubuhku ini. rasakan cinta saja, tanpa pretensi yang lainnya.”

Selepas itu;

Perlahan tubuhnya menghilang. Pertama bagian kakinya yang kulihat terus tak menapak. Lamat-lamat hingga hampir memasuki ujung rambut. Aku tak karuan dalam pelukan yang semakin kempis karena ragamu semakin menghilang. Aku kalut, Aku menangis, semakin jelas dirimu akan pergi lagi menginggalkanku. Sebelum pergi perlahan kamu berucap:

“Jangan bodoh.”

Aku kecup ujung rambut yang masih tersisa.

“Aku sayang kamu.”

Selepas kamu pergi, aku masih sendiri menjalani malam yang biasa kita lalui bersama. Jika ini sebuah kenyataan, aku hanya ingin sendiri saja tanpa cinta, tanpa sayang, dan tanpa wanita lagi. Kecuali kamu hadir, dan mengucapkan tidak untuk sikapku ini.

Kembalilah. Aku menunggumu. 09

Lho...


Lagi aku bingung dengan keadaan. Ada dua rasa yang berbeda ketika hendak berpikir, untuk satu yang meragu dan satu yang memikat laku untuk bertindak. Dengan ratap aku hanya berkeluh tanpa penuh deru untuk berseru yang bahwasanya aku gila dengan keadaan yang mendua ini. setelah akal tak memberi solusi pada ruang imajinasi untuk berkreasi dengan kesempitan pola pikir yang beku. Bukan karena kamu, tapi ada dalam diriku yang tak ada kontemplasi jiwa.

Lalu kamu berkata, “Kamu gila. Hilang akal. Sudah nggak waras”.

Apa ukuran bagi seorang dikata gila, sinting, nggak waras?

Orang berkata gila karena tak punya nyali. Ya, nyali untuk menilai dirinya sendiri yang notabene kosong tanpa berkaca pada cerminan dirinya. Lalu dinama letak eksistensi diri? Temukan di cara ada dan mengada. Dimana? Ada dalam bentuk fisikal diri yang berbentuk. Disekitar jasmani yang terangkum dalam bentuk indah jasmani (fisik) sebagai pola terstruktur dari sebuah ciptaan. Letak “mengada” ada dalam ruh. Dalam ruh yang diisi dengan iman, dan kepercayaan akan keberadaan yang Maha Agung di luar skema diri kita. Siapa? Tuhan, tentunya. Yang dengan segenap hati kita percayai, dan bukan untuk ditanyakan keberadaannya.

Sungguh. Aku berani sumpah. Aku bukan gila karena mencari Tuhan. Aku bingung kenapa intelektual tidak dihargai dalam sebuah eksistensi. Itu saja pertanyaanku.

Aku hanya bingung, Ayah, Ibu. Lho….? Kemana Tuhan pergi.