Kamis, 03 Desember 2009

Menemukan arti diri (Nilai, rasa, cinta, dan Jodoh)


“Lalu, di manakah jodoh itu?” Tanyaku
“ Ada mungkin di dekatmu, mungkin pula seseorang masa lalu, mungkin juga orang yang tak kau temui sebelumnya”. Jawabmu…
Jika itu merupakan pilihan, aku memilih seseorang yang baru dan ada di dekatku saat ini. Tapi siapa? Saat ini kedekatan bukan merupakan patokan dalam merasakan rasa yang sama. Adakalanya sebuah kedekatan hanya sebatas titik dimana kita hanya bisa menilai individu atas apa yang dilihat—dalam hal ini belum dengan perasaan. Untuk itu, aku pilih dengan pertimbangan yang sama sekali jelas bukan ada dalam bayangan yang terlewatkan sebelumnya. Biar semuanya berawal dengan sebuah nuansa hati yang baru, dan kita bisa meraba alur dari semua cerita ini bermuara.
“…ketika kau telah bisa temukan kesejatian dirimu kau akan sadari siapa yang tepat bagimu”. Itu katamu…
Kawan, aku dididik untuk menjadi seorang individulis. Seorang yang selalu harus percaya diri dengan segala kemampuan yang ada. Tentunya ada kalanya aku pun ada diposisi lemah, termasuk dalam kausal cinta yang bermuara pada tema jodoh itu. Ketika tanya harus menjadi jawaban, itupun belum sepenuhnya aku katakan benar. Karena setiap yang benar tersebut selalu bersifat subjektif, dan dari sudut sebelah mana kita menerkanya.
Kesejatian diri bukan mutlak diri kita sebagai individu yang berhak menilai. Walaupun hal tersebut merupakan hak asasi setiap individu. Dan kau pun rasanya tidak setuju dengan apa yang diungkapkan Satre tentang konsep eksistensinya, bahwa kita ada dan berada di dunia ini dengan sendirinya. Bukankah eksistensi kita juga dinilai oleh orang lain, yang menilai dan menjadi patron penilai dalam menentukan kesejatian diri kita sebagai individu.
Rasanya kita terlalu egois jika harus menentukan kesejatian diri itu hanya bersandar pada satu sudut pandang diri kita semata. Oleh karena itu, kita butuh seseorang yang bisa memahami, mengerti, dan cerdas menempatkan posisinya sebagai patner dalam menentukan arah dari semua cerita tentang cinta ini. Mungkin dialah jodoh yang ada dan tepat untuk kita.

: Jawaban untuk sahabatku ANP.
"Seperti inilah jawabanku, teman". ^^

Jumat, 20 November 2009

Tentang Pramoedya 1


•Antinomi

Wahai huruf ... alangkah akan tinggi ucapan terima kasihku, bilalah kamu menjadi buku terbuka, bagi manusia yang membacanya. (Pramoedya Ananta Toer)

Kata di atas merupakan sepenggal tulisan yang ditulis oleh Pramoedya dalam prolog sebuah bukunya Menggelinding 1. Bukan tentang tulisan tersebut yang ingin saya bahas dalam tulisan ini, namun ada sisi yang menarik ketika kita membicarakan Pramoedya sebagai sastrawan dan di lain pihak kita membicarakan muatan filsafat yang ada dalam setiap kata yang tertuang pada karya-karyanya—dan boleh kiranya saya menyebut Pram sebagai seorang filosof. Tentunya secara sosiologis, seorang sastrawan merupakan bagian dari masyarakatnya (suatu), ada penekanan pada pada sisipan “nya” yang saya kira bukan hanya sebagai partikel pengganti untuk kata jamak, namun saya lebih memaknainya sebagai penunjuk kepada hal yang dituju—yang dalam hal ini masyarakat tempat Pram berkelindan. Masyarakat sebagai sebuah komuni merupakan kumpulan dari berbagai ide, ideologi, agama, perasaan, persamaan, dan perbedaan, yang satu sama lain saling berkausal dalam sebuah konvensi yang dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab—seharusnya. Sebagai seorang sastrawan tentunya kita akan mengatakan bahwa muatan imajinasi akan lebih kental dalam sebuah makna. Namun jika kita berbicara Pram sebagai seorang filosof, di mana saya dapat membuktikan bahwa memang Pram sebagai filosof, setidaknya dalam karyanya.
Terdapat tiga kata yang menjadi jurang pemisah yang sering kita ungkap dalam membicarakan sastra dan filsafat; data, fakta, fiksi. Dengan mudah ketiga kata tersebut dapat kita pilah ketika mengatakan data digunakan untuk ilmu-ilmu empiris, fakta untuk sejarah, dan fiksi untuk sastra. Perlu kiranya saya bahas secara etimologis sederhana berkaitan dengan ketiga kata tersebut. Data adalah istilah Latin yang persis sama arti dan bentuknya dengan kata given dalam bahasa Inggris. Dare dalam bahasa Latin adalah to give dalam bahasa Inggris dalam bentuk infinitif. Sedangkan data/given adalah bentuk past participle. Dengan demikian, data berarti suatu yang diberikan. Di sini akan menyangkut kepada prasangka positivisme, yang menyatakan sesuatu dikatakan data jika kenyataan itu dianggap diberikan oleh alam, dan dimaknai oleh inderawi manusia. Hal tersebut akan merujuk kepada apa yang dinamakan veracitas naturae (the truthfulness of nature), atau kejujuran alam. Sebaliknya, Descartes dengan asas evedensinya berpegang pada asas veracitas Dei (the truthfulness of God). Dengan demikian, kedua hal tersebut akan berujung kepada apa yang disebut dengan knowledge (pengetahuan), bahwa pengetahuan tidak dimulai dengan data, melainkan hanya bisa dimulai dengan teori, sedangkan data berfungsi untuk menguji kebenaran teori.
Istilah fakta berasal dari bahasa Latin factum (bentuk past participle dari kata kerja facere). Dalam bahasa Inggris ekuivalennya adalah: done sebagai bentuk past participle dari to do. Istilah factum tidak ada padanannya dalam bahasa Inggris, yang kemudian mengambil alih kata Latin tersebut dan mengubahnya menjadi fact. Disini konsep fakta berasal dari alam pemikiran yang berhubungan erat dengan behaviorisme.
Kenyataan-kenyataan dalam alam seakan-akan diberikan oleh alam dan karena itu disebut data. Sedangkan dalam sejarah kenyataan-kenyataan itu dianggap dibuat dan dilakukan oleh manusia melalui tindakan-tindakannya dan karena itu menjadi fakta. Fakta adalah hasil tindakan manusia sebagai homo agens atau mahluk yang bertindak dan berbuat. Baik data atau fakta selalu berhubungan dengan indera manusia. Data diterima oleh indera manusia sedangkan fakta dilakukan melalui indera manusia.

to be continue...

Selasa, 17 November 2009

Tentang Kebudayaan*

Ada banyak cara untuk mengungkapkan apa itu kebudayaan. Berawal dari definisi sederhana, kebudayaan dapat ditelusur dari segi etimologis yang berasal dari kata Sansekerta budhayah, yang merupakan bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Pengertian di atas sesuai dengan perspektif yang dikemukakan oleh kaum strukturalisme yang memandang bahwa kebudayaan sebagai produk atau hasil dari aktivitas nalar manusia, sumber kebudayaan tak lain adalah nalar manusia atau human mind. Kebudayaan dalam terminologi di atas masih terlalu sempit, jika boleh dikatakan masih terbatas dalam kaitannya dengan berbagai unsur yang membangun sebuah kebudayaan. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah definisi seperti apa yang tepat untuk menjawab apa itu kebudayaan.

Terdapat banyak definisi tentang kebudayaan yang dimunculkan oleh berbagai pakar yang mengkaji tentang budaya dan kebudayaan tersebut. Dalam tulisan ini penulis memaparkan beberapa definisi tentang kebudayaan sebagai landasan teoretis dari beberapa pendekatan dan beberapa pakar yang mengungkapkan kebudayaan. menurut Canadian Commission for Unesco, kebudayaan dinyatakan sebagai: A dynamic value system of learned elements, with assumptions, conventions, beliefs and rules permitting members of a group to relate to each other and the world, to communicate and to develop their creative potential. Terdapat beberapa elemen penting dalam pengertian di atas, bahwa kebudayaan adalah sebuah nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan aturan-aturan yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain. Pengertian kebudayaan ini termasuk dalam pengertian kebudayaan sebagai sistem nilai, yaitu kebudayaan sebagai sistem normatif yang mengatur kehidupan bermasyarakat.

Menurut Suparlan (1986) kebudayaan ialah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh masyarakat oleh manusia sebagai mahluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Dua pengertian di atas merujuk kepada pandangan kaum evolusionistik yang memberikan pengertian kebudayaan sebagai bentuk cipta, rasa, dan karsa atau kelakuan dan hasil kelakuan manusia. Kebudayaan mengandung tiga hal utama, yaitu sebagai sistem budaya, aktivitas, dan kebudayaan yang berwujud benda-benda (fisik).

Dengan demikian, dari berbagai definisi tentang kebudayaan di atas, dapat direduksi sebuah pengertian sederhana, bahwa kebudayaan merupakan bentuk hasil aktivitas nalar manusia yang terwujud dalam beberapa aspek yang meliputi sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan sebagai watak khas dari setiap masyarakat.

Wujud Kebudayaan

Berdasarkan definisi tentang kebudayaan di atas, dapat kita temukan bahwa terdapat sebuah dimensi wujud budaya. Menurut dimensi wujudnya, kebudayaan meliputi tiga wujud, yang antara lain:

  1. Wujud ide

Wujud tersebut menunjukkan wujud ide dari kebudayaan, yang sifatnya abstrak. Dalam wujud ide ini terdapat gagasan, nilai, dan tata kelakuan, yang fungsinya ada untuk mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai bentuk kesopanan. Kebudayaan ideal ini sering pula disebut sebagai sistem budaya yang merupakan komponen kebudayaan yang berisi pikiran, gagasan, konsep, serta keyakinan, yang dalam bahasa Indonesia lazim kita sebut sebagai adat istiadat.

  1. Wujud aktivitas

Merupakan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud tersebut disebut pula sebagai sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia. Sistem sosial ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret, dalam bentuk perilaku dan bahasa.

  1. Wujud fisik

Wujud ini dinamakan pula sebagai kebudayaan fisik, yang merupakan hasil fisik aktivitas perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya konkret dan berupa benda-benda.

Subtansi utama Kebudayaan

Terdapat beberapa subtansi utama dalam pembentukan sebuah kebudayaan. Subtansi utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan di masyarakat yang member jiwa kepada masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk atau berupa sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi. Selain itu, terpadat beberapa unsur yang membentuk kebudayaan. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh B. Malinowski, kebudayaan di dunia mempunyai tujuh unsur universal, yaitu:

  1. Bahasa
  2. Sistem teknologi
  3. Sistem mata pencaharian
  4. Organisasi sosial
  5. Sistem pengetahuan
  6. Religi/kepercayaan
  7. Kesenian

Konklusi

Sebagai kesimpulan, perlu untuk kita simak pernyataan yang dikemukakan oleh Herkovits dalam bukunya yang berjudul Man and His Work tentang teori kebudayaan, yaitu:

  1. Kebudayaan dapat dipelajari
  2. Kebudayaan berasal atau bersumber dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen sejarah eksistensi manusia.
  3. Kebudayaan mempunyai struktur
  4. Kebudayaan bersifat dinamis
  5. Kebudayaan memperlihatkan keteraturan yang dapat dianalisis dengan metode ilmiah
  6. Kebudayaan merupakan alat bagi seseorang individu untuk mengatur keadaan totalnya dan menambah arti bagi kesan kreatifnya.

Kebudayaan dalam kerangka ilmu sosial budaya dasar adalah berkaitan dengan penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai kemanusiaan.

Referensi

Kaflan, David. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Soelaeman, Munandar. 2001. Ilmu Budaya dasar: Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.

Sumaatmadja, Nursyid. 1998. Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup. Bandung: CV. Alfabeta.


*Bahan ajar Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar, pada Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI)

Jumat, 16 Oktober 2009

Catatan Resah

...
kau buat aku bertanya

kau buat aku mencari
tentang rasa ini
aku tak mengerti
akankah sama jadinya
bila bukan kamu
lalu senyummu menyadarkanku...

Meresapi lirik lagu Sherina di atas membuat suasana hati tambah tak menentu. Wah, tentu ada yang salah dengan nuansa hati yang ada. Setidaknya, mungkin seperti itulah jiwa melankolisku yang sedang bergejolak.
Awalnya aku percaya akan semua cerita tentang ada. Ya, ada cinta yang tumbuh selaksa mawar yang sedang mekar. Namun, lagi aku dirundung gelisah setelah melihat kenyataan yang ada tak sama dengan visi dalam menilai rasa. Ah, rasanya terlalu berlebihan semua cerita ini.

...jangan paksa aku mencari yang lebih baik, karena senyummu menyadarkanku...

Belum sempat senyuman itu hadir nyata dalam visualisasi mata. Belum sempat pula tangan ini berjabat dalam hangat nuansa. Kini, kenyataannya telah usang seiring kata tentang resah.
Ya, Aku baru bisa menikmati dari sini...lewat facebook. Dan hanya indah yang terasa hampa dalam senyuman tentang kejujuran rasa.

Akhirnya;
"Jujur, Aku mengagumimu. Bukan karena cantik dirimu, bukan pula karena senyumanmu. Tapi yang ada di hati ini hanya merindumu dan tentunya cinta". Biar saja begitu adanya.

Selasa, 15 September 2009

Rahasia

1
Bukan sekedar ragu dalam diri yang haus akan tanya
namun, apakah setiap tanya harus ada jawab?

2
Akankah kata 'akan' yang akan menjawab
semua tanya dalam diri yang haus akan jawab...

3
Satu, dua, dan tiga
ditambah
satu, satu, dua, tiga, lima, delapan, tiga belas...
(enigmatik?)

Rabu, 02 September 2009

Cake (ode untuk teman)

"Besok, cicipi kue ku lagi ya, kawan."
Seperti itulah permintaannya pada malam tadi. Entah kenapa dirinya hanya mau dan percaya bahwa kue hasil karyanya harus aku coba--dan memang kuenya enak.
Entah untuk keberapakalinya kue buatannya aku cicipi, tentunya dalam nuansa dan suasana yang seperti biasanya; ada tema, ada diskusi, ada tanya, ada jawab, ada-ada yang lainnya, yang menjadi muara dalam pertemuan dengan dirinya selalu.
"Wah, resep baru lagi neh?" Tanyaku sesaat.
"Kenapa? Ga enak ya?" Jawabnya. Saat itu ada murung dalam mukanya.
"Bukan gitu, cuma terlalu banyak tape-nya, kawan."
Ya, saat itu dirinya mencoba membuat kue dari bahan tape. Tapi pada dasarnya enak dan selalu yang aku inginkan adalah suasana itu, yang tidak aku temukan dengan yang lainnya.

Bukan hanya tentang kue yang ingin aku ceritakan dalam cerita ini, namun tentang sahabat yang selalu ada dalam setiap cerita tentangnya;
"Kawan, bukan hanya merajuk ingin saja, dalam cerita tentang indah persahabatan ini ada begitu banyak kagum yang sebenarnya ingin kuceritakan. Namun, kata/bahasaku tidak cukup untuk menerjemahkan ingin tersebut menjadi makna kata. Dirimu pun tahu, tanpa aku harus berkata pun, tentu tahu sebetulnya apa yang ingin aku ucapkan. Haha...begitulah aku yang menurutmu melankolis, sulit dimengerti, dan serba susah untuk menunjukkan laku sebagai sebuah representasi diri. Sebegitu dekatkah kita? Sebegitu mengenalkah kita? Ah...rasanya sikap tak adil ada padaku, yang tak bisa selugas, secermat, se-sederhana dirimu dalam ungkap kagum atas makna. Biarkan saja semua begini adanya, dengan sikap rendah hati aku ucapkan salute untukmu, kawan."
Masih ingat dalam pertemuan terakhir denganmu, ada semangat yang sama ketika kita beranjak pada fase selanjutnya dalam pencarian tentang manfaat diri;
"Kelak, suatu hari nanti kita ketemu lagi di tempat ini, dengan kedudukan dan nuansa yang baru. Kita harus bisa lebih berguna dari hari ini, untuk esok, lusa, dan seterusnya." Kata-kata yang masih kuingat darinya, ketika pertemuan harus dibatasi oleh ruang waktu dan jarak yang terlalu menganga. Satu yang pasti aku rindukan dalam indahnya dirimu;
"Aku rindukan setiap detik pertemuan denganmu; tentang nuansa, tentang suasana, tentang tanya, dan tentang jawab yang selalu ada, dan tentunya Aku rindu mencicipi kue buatanmu lagi."


:
Lukisan kata sederhana dariku untuk kawan ANP; "Kawan, kamulah juaranya. Salute!"

Selasa, 01 September 2009

SERENADE

Dalam rintik hujan ini, aku terus mencari keberadaanmu. Namun, aku tak menemukanmu. Entah untuk keberapa kalinya aku terus terlena dalam pencarian tentangmu. Aku hanya bisa menunggumu dalam balik ruang yang kosong ini. Setiap tetesan air hujan yang jatuh, selalu mengingatkanku akan detakan terakhir itu. Ya, aku hampir gila karena mengingatmu.

Ruangan ini kosong dan kotor. Entah mengapa aku berada di ruang yang pengap ini. Aku baru tersadar setelah aku tahu akan keberadaanku. Gelap, pengap, bau, dan segala macam yang mengganggu aku rasakan ketika hendak sadar terbangun dari mimpiku. Aku bergerak kesana kemari, dan aku mencari sumber udara untuk menghilangkan kepengapan suasana. Aku mencari sinar untuk menerangi setiap gelap dalam pelupuk mataku. Namun, semua jadi tak ada bagiku. Kenapa? Aku sempat bertanya sesaat akan nuansa baru yang tak mengenakan ini.

Selang beberapa hari, aku mulai terbiasa dengan kepenatan suasana ini. Aku belum bisa memaknai arti baru dalam nuansa yang sama sekali tak aku kenali. Kesunyian ini aku rasakan bersama suara jangkrik yang selalu menemani dalam heningnya nuansa.

Gemericik hujan mulai menemani kesunyianku. Bunyi rintikan itu membuatku sedikit mengingat siapa jati diriku. Aku terus maknai setiap irama yang hadir sebagai sebuah simfoni dalam dingin dan sunyinya suasana. Entah hari ini malam, siang, atau pagi. Yang ada bagiku saat ini hanya kegelapan yang menyeliputi seluruh pandanganku.

Tik, tik, tik, tik...

“Ya, bunyi itu!”

Tik, tik, tik, tik...

“Bunyi itu!”

Angin juga berhembus dengan menawarkan aura dingin yang membuat setiap bulu kudukku berdiri. Ah, rasanya aku bukan takut pada hembusan ini.

Tik, tik, tik, tik...

“Aghhhhhhhhhh.............anjing! kenapa aku tak bisa mengingat suara ini!”

Tik, tik, tik, tik...

Terlepas dari sadar atau tidak, aku rasakan pening ketika harus mendengar suara rintik hujan itu. Memori yang ada belum mau bercerita tentang arti yang bisa kuingat dari setiap suara alam yang menggema. Hujan tak jua reda. Aku terus menggigil kedinginan dan tersiksa dengan semakin bertambahnya kuantitas hujan yang ada.

Tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik....

“Arghhhhhhhhhhhhhhhhh...anjing! Aku tak tahu!”

Belaianmu sangat membuatku nyaman. Pelukan sayangmu menghangatkan tubuhku. Aku nikmati setiap rasa sayang yang kamu beri. Wujud cinta yang tulus darimu, telah membuatku begitu berarti. Aku sadari, hidup ini nyata dan harus diperjuangkan. Kamu juga yang selalu mengingatkanku untuk selalu memegang prinsip daripada harus tunduk dengan sebuah kebutuhan yang meminta. Kamu pula yang selalu mengingatkanku akan konsekuensi dari ideologi yang aku pilih. Kamu yang selalu mengingatkan aku;

“Hidup ini pilihan, Mas. Ya, Mas sendiri yang menentukan. Ikhtiar yang terbaik adalah bergerak. Jadi, Mas, musti bergerak. Begitupun ideologi, itu pilihan juga. Aku sayang kamu sebagai pribadi, sebagai individu dengan tanpa pretensi apa-apa. Ingat itu baik-baik ya, Mas.”

Jalinan cinta ini indah. Dengan hadirnya dirimu, aku semakin tahu akan kekuatan cinta. Aku yang seorang individualis, selalu bergelut dengan waktuku saja. Aku pikir, cinta hanya penghambat dalam laju revolusi. Namun, lagi-lagi kamu yang selalu mengingatkanku. Dan rasanya aku tergila untuk mencintaimu. Tak tahu aku bila tanpa cinta darimu.

Aku coba bergerak lagi. Aku masih mendengar rintikan hujan yang tadi. Rasanya hujan tak jua berhenti, barang sebentar saja. Terlepas dari ingatanku, aku kembali memaknai setiap bunyi rintik hujan ini. Namun!

Dor, dor, dor, dor...

“Aghhhhhhhhhhhhhh...anjing! Mengapa ini?!”

Dor, dor, dor, dor...

“Suara apa ini?!”


Sesaat irama rintik hujan itu berubah menjadi raungan bunyi senapan yang memekakkan gendang telingaku. Aku berlindung dari setiap serangan itu. Aku tutup telinga ini, aku tutup mata ini, aku berlari kesetiap sudut. Aku terus berlari, aku terus berlari, aku terus berlari... dan akhirnya aku menemukan cahaya dari sudut ruangan ini;

Aku hanya bisa menangis, saat kamu harus tergolek lemah karena dentuman peluru. Aparat itu terus menembakmu dengan sangat kejinya. Aku hanya bisa melihatmu mati dari kejauhan saja. Kamu sempat berkata—yang kulihat dalam matamu—kepadaku;

“Kamu harus tetap hidup, Mas. Jika mati. Matilah secara terhormat di antara teman seperjuanganmu. Ingat baik-baik pesanku. Jadilah individu yang unggul, jauhkan diri dari segala pretensi. Kamu harus memilih prinsip daripada harus tunduk terhadap segala kebutuhan. Ini mungkin akhir cerita cinta kita. Namun, aku akan selalu bersimfoni dalam indahnya nuansa yang baru. Aku menunggu hadirnya dirimu lagi, Mas.”

Hujan masih saja deras. Namun, suara rintik hujan ini telah kembali menjadi irama yang seharusnya.

Tik, tik, tik...

Aku menemukan kembali sinar dalam pelupuk mataku. Mungkin sebentar lagi hujan akan reda. Kelak aku bisa melihat pelangi yang indah, dan aku bisa menikmati setiap indah panorama dalam pancaran alam yang menerangi mataku kini.

Aku telah mengetahui keberadaamu. Aku juga telah relakan kepergianmu. Aku, aku...—sejenak aku menangis—tak tahu lagi harus ke mana melangkah. Memang aku telah menemukan kembali sinar ini. Namun, tanpamu...

“Aku tak bisa, Sekar.”

kesunyian Bumi, Agustus...